LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN DAN TEKNIK LABORATORIUM IPA | Teknik Pembuatan Spesimen Awetan Kering, Basah dan Bioplastik


LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN DAN TEKNIK LABORATORIUM IPA
Teknik Pembuatan Spesimen
Awetan Kering, Basah dan Bioplastik



Disusun oleh :
Kelompok 2
1.      Yulia Lestari               (15312241014)
                                                   2.      Yustar Afif P.              (15312241028)
3.      Reni Primastuti           (15312241030)
4.      Sonia Sukma P.           (15312241033)
5.      Ria Novita                   (15312244006)
Kelas IPA A 2015



JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Desember, 2016

HALAMAN PENGESAHAN
PRAKTIKUM TEKNIK PEMBUATAN SPESIMEN AWETAN
KERING, BASAH, DAN BIOPLASTIK

Oleh :
Kelompok 2

Yogyakarta, 19 Desember 2016

Anggota:
Nama
NIM
Tanda Tangan
Yulia Lestari
15312241014

Yustar Afif P.
15312241028

Reni Primastuti
15312241030

Sonia Sukma P.
15312241033

Ria Novita
15312244006



Diserahkan pada tanggal 20 Desember 2016 pukul 07.30 WIB
 
 



Mengetahui,   
Dosen Pembimbing

(.....................................)

A.    JUDUL
Teknik Pembuatan Spesimen Awetan Kering, Basah, dan Bioplastik

B.     TUJUAN
1.      Mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan tumbuhan secara pengeringan alami.
2.      Mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan kering binatang.
3.      Mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan basah tumbuhan.
4.      Mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan basah binatang.
5.      Mengetahui cara pembuatan label (labeling).
6.      Mengetahui cara pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik.
7.      Mengetahui perbandingan resin dan katalis yang sesuai untuk pembuatan spesimen awetan.

C.     KAJIAN PUSTAKA
1.      Pengertian Herbarium
Herbarium merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Turnefor (1700) untuk tumbuhan obat yang dikeringkan sebagai koleksi. Luca Ghini (1490-1550) seorang Professor Botani di Universitas Bologna, Italia adalah orang pertama yang mengeringkan tumbuhan di bawah tekanan dan melekatkannya di atas kertas serta mencatatnya sebagai koleksi ilmiah (Ramadhanil, 2003).
Herbarium merupakan suatu spesimen dari bahan tumbuhan yang telah dimatikan dan diawetkan melalui metoda tertentu dan dilengkapi dengan data-data mengenai tumbuhan tersebut. Membuat herbarium yaitu pengumpulan tanaman kering untuk keperluan studi maupun pengertian, tidaklah boleh diabaikan. Yaitu melalui pengumpulan, pengeringan, pengawetan, dan dilakukan pembuatan herbarium (Steenis, 2003).
Herbarium dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus pohon dan semak disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar, sedangkan herbarium basah digunakan untuk spesimen yang berair dan lembek, misalnya buah (Setyawan dkk, 2004).
Menurut Onrizal (2005:1), kegunaan herbarium antara lain:
a.       Sebagai pusat referensi : Merupakan sumber utama untuk identifikasi tumbuhan bagi para ahli taksonomi, ekologi, petugas yang menangani jenis tumbuhan langka, pecinta alam, para petugas yang bergerak dalam konservasi alam.
b.      Sebagai lembaga dokumentasi : Merupakan koleksi yang mempunyai nilai sejarah, seperti tipe dari taksa baru, contoh penemuan baru, tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi dan lain lain
c.       Sebagai pusat penyimpanan data : Ahli kimia memanfaatkannya untuk mempelajari alkaloid, ahli farmasi menggunakan untuk mencari bahan ramuan untuk obat kanker, dan sebagainya.

2.      Cara Pembuatan Herbarium
Pembuatan herbarium dimulai dengan mengumpulkan material herbarium yang diambil, terutama identifikasi dan dokumentasi. Identifikasi pada tanaman diperlukan ranting, daun, kuncup, kadang-kadang bunga dan buah dalam satu kesatuan. Material herbarium yang lengkap mengandung ranting daun muda dan tua, kuncup bunga, bunga tua dan muda yang sudah mekar, serta buah muda dan tua, material herbarium dengan bunga dan buah disebut herbarium fertil, sedangkan material herbarium tanpa bunga dan buah disebut material herbarium yang steril (Rugayah, 2004).
Adapun langkah-langkah dalam pengawetan menurut Christina (1991: 189) ada 2 tahap yaitu :
a.       Koleksi
      Hewan-hewan yang akan diawetkan dalam bentuk utuh dan akan dibawa ke kelas atau ke Laboratorium biasanya hewan-hewan yang berukuran relatif kecil. Hewan yang akan diawetkan ditangkap menggunakan alat yang sesuai. Hewan yang tertangkap dimasukkan dalam botol koleksi yang sudah diberi label.
b.      Mematikan (killing), Meneguhkan (fixing), dan mengawetkan (preserving)
      Proses mematikan dan meneguhkan memerlukan perlakuan dan bahan tertentu. Bahan untuk mematikan biasanya adalah Ether, Kloroform, HCN/KCN, Karbon Tetracloride (CCL4) atau Ethyl acetat. Namun, kadangkadang perlu perlakuan khusus yaitu melalui pembiusan sebelum proses mematikan dilakukan, agar tubuh hewan yang akan diawetkan tidak mengkerut atau rusak. Pembiusan dilakukan dengan serbuk menthol atau kapur barus ke permukaan air tempat hidupnya, setelah tampak lemas, dan tidak bereaksi terhadap sentuhan, hewan dapat dipindahkan ke dalam larutan pengawet.
c.       Meneguhkan/ fiksasi (Fixing)
d.      Mengawetkan (Preserving)
Beberapa bahan pengawet yang dapat digunakan antara lain, formalin, alkohol (ethil alkohol), resin atau pengawet berupa ekstrak tanaman. Bahan-bahan pengawet ini mudah dicari, murah dan hasilnya cukup bagus, meskipun ada beberapa kelemahan.
Menurut Ekosari dan Purwanti (2015: 32) dalam Diktat Petunjuk Praktikum Pengelolaan dan Teknik Laboratorium IPA, langkah/ teknik pembuatan awetan basah pada tumbuhan lumut dilakukan dengan cara:
a.       Bersihkan kotoran dan tanah dari tumbuhan lumut yang ingin diawetkan.
b.      Siapkan larutan fiksatif dengan komposisi: (1) asam asetat glasial sebanyak 5 ml; (2) formalin sebanyak 10 ml; (3) etil alkohol sebanyak 50 ml.
c.       Selanjutnya untuk mempertahankan warna hijau lumut, dapat pula ditambahkan ke dalam larutan fiksatif tadi larutan tembaga sulfat dengan komposisi: (1) tembaga sulfat 0,2 gram; dan (2) aquades sebanyak 35 ml.
d.      Matikan lumut dengan merendamnya ke dalam larutan fiksatif yang telah ditambahkan larutan tembaga sulfat tadi. Biasanya diperlukan 48 jam perendaman.
e.       Siapkan tempat berupa botol penyimpanan yang bersih, kemudian isi dengan alkohol 70% sebagai pengawetnya.
f.       Masukkan lumut yang telah siap tadi dalam botol penyimpanan, atur posisinya sehingga mudah diamati.
g.      Buatkan label berupa nama spesies lumut tanpa mengganggu pengamatan.
h.      Awetan basah tumbuhan lumut siap digunakan. Secara berkala atau bila perlu, misalnya larutan menjadi keruh atau berkurang, gantilah dengan larutan pengawet yang baru secara hati-hati.
Menurut Christina (1991: 190) Bahan pengawet dan peneguh yang digunakan biasanya berbahaya bagi manusia, maka perlu dikenali sifat-sifatnya. Adapun sifat-sifat larutan pengawet adalah:
a.       Alkohol, merupakan bahan yang mudah terbakar, bersifat disinfektan dan tidak korosif.
b.      Formalin, larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung, mata, dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit.
c.       Ether, larutan mudah menguap, beracun, dapat membius dengan konsentrasi rendah, eksplosiv.
d.      Kloroform, Larutan mudah menguap, dapat membius dan melarutkan plastic. Berfungsi sebagai pembius.
e.       Karbon tetracloride, larutan mudah menguap, melarutkan plastik dan lemak, membunuh serangga.
f.       Ethil acetat, larutan mudah menguap, dapat membius dan mematikan serangga atau manusia.
g.      Resin, merupakan larutan yang tidak mudah menguap mudah mengeras dengan penambahan larutan katalis, karsinogenik, dapat mengawetkan specimen dalam waktu yang sangat lama.
h.      KCN/HCN, larutan pembunuh yang sangat kuat, sangat beracun, bila tidak terpaksa jangan gunakan larutan ini.

3.      Jenis Teknik Pengawetan
a.       Pengawetan Basah
Herbarium basah, setelah material herbarium diberi label gantung dan dirapikan, kemudian dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Satu lipatan kertas koran untuk satu specimen (contoh). Tidak benar digabungkan beberapa specimen di dalam satu lipatan kertas. Selanjutnya, lipatan kertas koran berisi material herbarium tersebut ditumpuk satu diatas lainnya. Tebal tumpukan disesuaikan dengan dengan daya muat kantong plastik (40 × 60) yang akan digunakan. Tumpukkan tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram alcohol 70 % atau spiritus hingga seluruh bagian tumbukan tersiram secara merata, kemudian kantong plastic ditutup rapat dengan isolatip atau hekter supaya alcohol atau spiritus tidak menguap keluar dari kantong plastik (Onrizal, 2005: 2).
Menurut Ekosari Roektiningroem dan Purwanti Widhy (2015: 31), pembuatan label dalam herbarium ada dua etiket, yaitu etiket gantung yang berisi tentang: nomer koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daeran tingkat II tempat pengambilan (untuk bagian depan)
pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain: kop (kepala surat) sebagipengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi)nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut. Dalam praktikum biologi khususnya Zoologi dan Botani lazimnya dibutuhkan spesimen (contoh) segar. Kadang-kadang kebutuhan ini sulit untuk dipenuhi karena memerlukan persediaan hewan-hewan hidup dan tidak semua jenis hewan dan tumbuhan bisa dipelihara di laboratorium atau sekitarnya. Oleh karena itu untuk kepentingan praktikum disediakan spesimen awetan.
Pembuatan awetan spesimen diperlukan untuk tujuan pengamatan spesimen secara praktis tanpa harus mencari bahan segar yang baru. Terutama untuk spesimen-spesimen yang sulit di temukan di alam. Awetan spesimen dapat berupa awetan basah atau kering, untuk awetan kering, tanaman diawetkan dalam bentuk herbarium. Awetan basah, baik untuk hewan maupun tumbuhan biasanya dibuat dengan merendam seluruh spesimen dalam larutan formalin 4% (Suyitno, 2004).

b.      Pengawetan Kering
Herbarium kering, cara kering menggunakan dua macam proses yaitu, pengeringan langsung dan pengeringan bertahap. Pengeringan langsung, yakni tumpukan material herbarium yang tidak terlalu tebal di pres di dalam sasak, untuk mendapatkan hasil yang optimum sebaiknya dipres dalam waktu dua minggu kemudian dikeringkan diatas tungku pengeringan dengan panas yang diatur di dalam oven. Pengeringan harus segera dilakukan karena jika terlambat akan mengakibatkan material herbarium rontok daunnya dan cepat menjadi busuk. Sedangkan pengeringan bertahap, yakni material herbarium dicelup terlebih dahulu di dalam air mendidih selama 3 menit, kemudian dirapikan lalu dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Selanjutnya, ditumpuk dan dipres, dijemur atau dikeringkan di atas tungku pengeringan. Selama proses pengeringan material herbarium itu harus sering diperiksa dan diupayakan agar pengeringannya merata. Setelah kering, material herbarium dirapikan kembali dan kertas koran bekas pengeringan tadi diganti dengan kertas baru. Kemudian material herbarium dapat dikemas untuk diidentifikasi (Onrizal, 2005).

c.       Pengawetan dengan Bahan Bioplastik
Bioplastik merupakan pengawetan spesimen binatang atau tumbuhan dalam blok resin untuk digunakan sebagai media pembelajaran. Spesimen hewan atau tumbuhan dalam blok resin selain berfungsi sebagai media pembelajaran, juga dapat berfungsi sebagai ornamen.Sebelum dicetak, resin berupa cairan yang kental. Resin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder, tersusun atas karbon. Senyawa ini akan mengalami polimerisasi dalam kondisi yang tepat. Reaksi polimerisasi bersifat eksoterm sehingga akan menimbulkan panas. Untuk mempercepat polimerisasi digunakan katalis. Jumlah cairan katalis yang ditambahkanakan mempengaruhi terhadap cepat atau lambatnya proses polimerisasi, efeknya adalah jumlah panas yang dikeluarkan. Semakin banyak katalis yang ditambahkan akan semakin cepat dan semakin panas (Ekosari dan Purwanti, 2015 : 35).
Spesimen tumbuhan maupun hewan dapat juga diawetkan dalam blok resin (sering dikenal dengan istilah bioplastik). Spesimen yang sesuai untuk diawetkan dalam blok resin adalah yang tidak terlampau kecil ukurannya dan tidak rusak strukturnya dalam kondisi kering. Bahan utama yang digunakan untuk pengawetan adalah cairan resin yang biasa digunakan dalam pembuatan fiberglass, pin, gantungan kunci, piala dan berbagai cindera mata yang lain.
Resin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder, tersusun atas karbon. Senyawa ini akan mengalami polimerisasi dalam kondisi yang tepat. Reaksi polimerisasi bersifat eksoterm sehingga akan menimbulkan panas. Bila dibiarkan di udara terbuka, secara alami proses polimerisasi berlangsung secara lambat. Alat dan bahan untuk pengawetan spesimen dalam blok resin
1)      Spesimen yang sudah dimatikan/dikeringkan.
2)      Cairan resin Untuk mempercepat polimerisasi resin digunakan katalis.
3)      Jumlah cairan katalis yang ditambahkan akan memengaruhi terhadap cepat atau lambatnya proses polimerisasi.
4)      Peralatan dan bahan lain yang digunakan adalah gurinda atau kikir, amplas duco berbagai ukuran, gelas bekas air mineral, pengaduk, pinset, cetakan , label terbuat dari plastik transparan.
5)      Untuk proses finishing biasanya digunakan compound, sanpoly atau kit dan kain halus untuk menggosok permukaan blok.
Berikut merupakan proses pembuatan awetan blok resin :
1)      Penyiapan spesimen
Perlakuan awal pada spesimen perlu diperhatikan dengan benar. Salah penanganan dapat mengakibatkan hasil yang tidak memuaskan misalnya perubahan warna, bentuk, dan ukuran. Spesimen yang akan diblok dalam resin harus dalam keadaan kering. Pengeringan spesimen dapat dilakukan dengan cara dehidrasi di udara terbuka, menggunakan formalin, kloroform, atau dioven. Untuk spesimen tumbuhan dapat dikeringkan dengan cara pengepresan menggunakan buku tebal selama beberapa hari atau dikeringkan dengan menggunakan setrika. Pengeringan dengan menggunakan setrika harus dijaga benar agar suhu tidak terlalu panas. Jika terlalu panas, spesimen akan hangus.
2)      Pembuatan blok resin
a)      Siapkan cetakan, yakinkan bagian sudut dan tepi tidak bocor.
b)      Tuangkan resin secukupnya ke dalam gelas bekas air mineral, tambahkan katalis sambil diaduk perlahan. Menurut Setyadi (2004) perbandingan resin dan katalis kurang lebih 20 : 1. Namun sebenarnya tidak ada rumus yang baku untuk proses ini. Semuanya dilakukan dengan proses eksperimen. Dari hasil eksperimen akan dihasilkan perbandingan resin dan katalis untuk reaksi cepat, reaksi sedang, dan reaksi lambat. Jika terlalu banyak katalis akan menyebabkan spesimen mengalami pemanasan dan blok menjadi retak atau pecah. Jumlah katalis yang terlalu sedikit juga menyebabkan pembentukan blok menjadi lambat atau tidak kering dalam waktu yang dikehendaki. Dalam kondisi normal tanpa katalis resin akan memadat sekitar 24-48 jam. Suhu ruangan juga berpengaruh pada lamanya pemadatan resin.
c)      Untuk membuat lapisan dasar, tuangkan campuran resin pada cetakan dengan ketebalan sekitar 0,5 cm.
d)     Apabila lapisan dasar sudah cukup kering, tempatkan spesimen yang sudah dipersiapkan dengan hati-hati. Bila diperlukan label, tempatkan secara bersamaan.
e)      Buat campuran resin dan katalis untuk lapisan pengikat sedikit saja dan tuangkan dengan hati-hati pada spesimen yang telah diletakkan pada lapisan dasar.
f)       Jika lapisan pengikat sudah membentuk gel (cek dengan ujung tusuk gigi). Tuangkan campuran resin dan katalis sebagai lapisan penutup.
3)      Pembentukan, penghalusan, dan finishing
Pembentukan dapat menggunakan gerinda, kikir atau amplas kasar. Pembentukan bertujuan untuk meratakan permukaan yang kasar dan membentuk blok yang tepat. Setelah proses pembentukan, dilanjutkan dengan proses penghalusan menggunakan amplas bertingkat dari yang kasar hingga yang halus. Proses terakhir adalah finishing, yang bertujuan untuk menghaluskan dan membuat transparan permukaan blok resin. Untuk proses finishing biasanya digunakan compound, sanpoly atau kit dan digosok dengan kain yang halus.
Berikut merupakan kelebihan dan kekurangan spesimen awetan dalam blok resin :
1)      Spesimen yang diawetkan bisa dilihat dari semua sisi sehingga gejala struktural objek dapat teramati.
2)      Selain sebagai media pembelajaran, dapat juga digunakan sebagai hiasan (ornamen). Keindahan objek dapat terjaga dan dapat dilihat secara utuh sehingga dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam mempelajari objek tersebut.
3)      Lebih kuat dan tahan lama dibandingkan spesimen awetan lain seperti insektarium dan herbarium.
4)      Siswa dapat memanfaatkan media untuk belajar sambil bermain. Sebagai contoh untuk mempelajari urutan dan ciri-ciri tiap fase dalam siklus hidup kupu-kupu, setiap tahap/fase diawetkan dalam blok-blok resin yang terpisah. Ketika akan digunakan blok-blok spesimen diletakkan secara acak kemudian siswa diminta untuk mengamati ciri-ciri tiap fase dan mengurutkannya dengan benar.
5)      Praktis dalam penyimpanan. Meskipun memiliki banyak kelebihan, namun penggunaan spesimen awetan dalam blok resin juga mempunyai kekurangan. Salah satu di antaranya adalah spesimen tidak dapat disentuh/diraba sehingga gejala objek yang bisa diobservasi hanyalah gejala struktural yang mengandalkan indera penglihatan saja.

4.      Teknik Pembuatan Label (labeling)
Dalam herbarium ada dua macam label etiket, yaitu etiket gantung yang berisi tentang; nomor koleksi, inisial nama kolekor, tanggal pengambilan spesimen ddan daerah tingkat II tempat pengambilan (untuk bagian depan) dan nama ilmiah spesimen (untuk bagian belakang ). Pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain ; kop (kepala surat) sebagai pengenal identitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomor koleksi, (dd) tanggal menempel, (determinasi) nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut. (Ekosari dan Purwanti, 2015:31)





D.    METODOLOGI PRAKTIKUM
1.      Tempat dan Waktu Praktikum
a.       Tempat                        : Laboratorium IPA 2
b.      Waktu                         : 1)  Awetan Kering    : Selasa, 29 November 2016
              2)  Awetan Basah     : Selasa, 6 Desember 2016
  3)  Bioplastik             : Jumat, 16 Desember 2016
2.      Alat dan Bahan
a.       Awetan kering tumbuhan 


1)      Spesimen : Capsicum annum, Solanum melongena, Capsicum frustescens, Physalis angulata, dan Petunia hybrida
2)      Alkohol 96%
3)      Kapas
4)      Koran
5)      Solasi
6)      Gunting
7)      Buku tebal
8)      Air
9)      Kertas karton
10)   Kertas label
11)   Plastik mika


b.      Awetan kering binatang


1)      Spesimen : Jangkrik
2)      Klorofom
3)      Formalin
4)      Jarum suntik
5)      Kantong Plastik
6)      Kapas
7)      Jarum Pentul
8)      Sterofom


c.       Awetan basah tumbuhan


1)      Botol jam/ toples kaca
2)      Spesimen : Kiapu
3)      Stick Kayu
4)      Formalin
5)      Akuades
6)      Kertas Label



d.      Awetan basah binatang


1)      Botol jam/ toples kaca
2)      Spesimen : Kuda laut
3)      Formalin
4)      Kloroform
5)      Akuades
6)      Plastik Label


e.       Awetan bioplastik


1)      Spesimen : Ampal
2)      Resin
3)      Katalis
4)      Minyak goreng
5)      Cetakan
6)      Gelas ukur
7)      Amplas
8)      Label 
9)      Wadah
10)  Jarum pentul



3.      Langkah Kerja
a.       Awetan kering tumbuhan
 
AAwetan kering binatang
Down Arrow Callout: Menyiapkan alat dan bahan

Memberi label pada insektarium dan menutup insektarium

 
 




























c.       Awetan basah tumbuhan

d.      Awetan basah binatang
 

















e.       Awetan bioplastik


E.     DATA HASIL PENGAMATAN
1.      Spesimen Awetan Kering
No.
Awetan
Nama
Gambar
1.
Tumbuhan
Cabai Rawit






Cabai Merah







Terung







Ceplukan

 








Petunia

 







2.
Hewan
Jangkrik






2.      Spesimen Awetan Basah
No.
Awetan
Nama
Gambar
1.
Tumbuhan
Kiapu

 






2.
Hewan
Kuda Laut







3.      Spesimen Awetan Bioplastik
No.
Awetan
Nama
Gambar
1.
Hewan
Ampal





F.      PEMBAHASAN
Percobaan kali ini berjudul “Teknik Pembuatan Spesimen  Awetan Kering, Basah dan Bioplastik” yang bertujuan untuk mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan tumbuhan secara pengeringan alami, mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan kering binatang, mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan basah tumbuhan, mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan basah binatang, mengetahui cara pembuatan label (labeling), mengetahui cara pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik dan mengetahui perbandingan resin dan katalis yang sesuai untuk pembuatan spesimen awetan. Dalam percobaan ini praktikan melakukan 3 kegiatan yaitu melakukan pembuatan spesimen awetan kering, pembuatan spesimen awetan basah, dan pembuatan spesimen awetan bioplastik. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing kegiatan :
1.      Pembuatan Spesimen Awetan Kering
a.       Awetan kering tumbuhan
Dalam praktikum pembuatan awetan kering tumbuhan, praktikan menggunakan berbagai macam alat dan bahan, antara lain spesimen tanaman yang akan diawetkan kering (Capsicum annum, Solanum melongena, Capsicum frustescens, Physalis angulata, dan Petunia hybrida), alkohol 96%, kapas, koran, solasi, gunting, buku tebal, air, kertas karton, kertas label, dan plastik mika. Alat dan bahan yang digunakan memiliki fungsinya masing-masing. Spesimen tanaman digunakan sebagai objek dalam pembuatan awetan kering tumbuhan. Alkohol untuk mengawetkan tumbuhan supaya tetap utuh dan tidak rusak. Kapas digunakan untuk mengoleskan alkohol ke spesimen tanaman yang akan diawetkan. Koran digunakan untuk menyerap air pada spesimen tanaman ketika proses pengeringan dan buku tebal digunakan untuk memberi tekanan pada spesimen tanaman supaya lebih cepat kering.  Gunting digunakan sebagai alat pemotongan. Solasi berfungsi untuk merekatkan spesimen tanaman di atas koran maupun di atas kertas karton. Air berfungsi untuk mencuci kotoran pada spesimen tanamansupaya bersih dan mudah diawetkan. Kertas karton digunakan untuk meletakkan spesimen tanaman yang sudah diawetkan. Kertas label berfungsi untuk memberi keterangan klasifikasi tanaman tersebut yang disertai identitas, pengumpul (nama pengumpul atau kolektor dan nomor koleksi), dan dilengkapi keterangan lokasi asal material dan keterangan tumbuhan tersebut untuk kepentingan penelitian dan identifikasi. Kemudian, plastik mika digunakan untuk membungkus spesimen tanaman awetan kering yang sudah diletakkan di atas kertas karton.
Herbarium merupakan suatu spesimen dari bahan tumbuhan yang telah dimatikan dan diawetkan melalui metoda tertentu dan dilengkapi dengan data-data mengenai tumbuhan tersebut. Membuat herbarium yaitu pengumpulan tanaman kering untuk keperluan studi maupun pengertian, tidaklah boleh diabaikan. Yaitu melalui pengumpulan, pengeringan, pengawetan, dan dilakukan pembuatan herbarium (Steenis, 2003).
Langkah kerja yang dilakukan praktikan dalam melakukan pembuatan spesimen awetan kering tumbuhan yaitu menyiapkan spesimen tanaman yang akan diawetkan. Spesimen tanaman yang digunakan dalam percobaan adalah tanaman famili Solanaceae (suku terung-terungan) yaitu cabai rawit, cabai merah, terung, ceplukan, dan petunia. Langkah selanjutnya, membersihkan kotoran dan tanah dari tanaman yang akan diawetkan dengan air mengalir kemudian mengeringkannya. Kemudian, menyediakan alkohol sesuai dengan kebutuhan dan mengoleskan alkohol dengan tisu pada seluruh bagian spesimen tanaman. Pengolesan alkohol ke seluruh bagian spesimen tanaman bertujuan supaya tanaman menjadi lebih awet dan tidak ada bagian yang rusak apabila dikeringkan nantinya. Langkah berikutnya, mengatur posisi tanaman di atas koran dan pada beberapa bagian tanaman direkatkan dengan solasi secara rapi. Hal ini dilakukan agar tanaman tidak bergeser. Setelah itu, menangkupnya dengan kertas koran lain dan meletakkan buku tebal di atasnya, proses tersebut bartujuan untuk membuat spesimen tanaman menjadi kering. Menunggu beberapa hari hingga spesimen tanaman benar-benar kering. Kemudian, meletakkan spesimen tanaman yang sudah kering di atas kertas karton, lalu mengatur posisinya dan juga menyelotip beberapa bagian spesimen tanaman agar tidak bergesar. Praktikan mengatur posisi tanaman  agar mudah untuk diidentifikasi dan mudah diamati. Dilanjutkan dengan memberi label (labeling) lalu dikemas dengan plastik mika. Pengemasan dengan plastik mika ini bertujuan supaya herbarium terlihat rapi, tidak kotor, dan terhindar dari air sehingga herbarium bertahan lebih lama.
Prosedur pembuatan label dalam herbarium ada dua macam pelabelan yaitu label etiket gantung dan label etiket tempel. Pada label etiket gantung berisi: no koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daerah tingkat II tempat pengambilan (untuk bagian depan) dan nama ilmiah spesimen (untuk bagian belakang). Sedangkan, pada label etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain:  kop (kepala surat) sebagai pengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomer koleksi, (dd) tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi) nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut (Ekosari dan Purwanti, 2015: 31).
Dalam percobaan ini, praktikan menggunakan label etiket tempel. Namun dalam label etikat tempel yang dibuat praktikan kurang lengkap, praktikan hanya mencantumkan klasifikasi tanaman, habitat, tanggal diawetkan, dan kolektor.
Pemberian label ditempel di sebelah kanan bagian bawah pada kertas karton. Kemudian spesimen tanaman yang telah ditempel pada kertas karton beserta identifikasinya ditutup menggunakan plastik mika supaya terlihat rapi dan tidak kotor. Plastik tersebut dilekatkan dengan selotip sambil ditekan agar selotip tersebut lengket dan plastik tidak mengkerut. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa herbarium yang telah disusun sedemikian rupa dapat disimpan sebagai arsip dan penyimpanan data, dan dapat diambil kembali apabila suatu waktu herbarium tersebut dibutuhkan untuk bahan ajar, referensi dan kepentingan lainnya.
Adapun pelabelan dari pengeringan awetan alami tanaman yang dibuat praktikan adalah sebagai berikut :
1)      Cabai rawit
Kingdom                        : Plantae
Divisi                              : Spermatophyta
Kelas                              : Magnoliopsida
Ordo                               : Solanales
Famili                             : Solanaceae
Genus                             : Capsicum
Spesies                           : Capsicum frustescens L.
Habitat                           : Dataran rendah dan dataran tinggi
Tanggal diawetkan         : 29 November 2016
Kolektor                         : Reni Primastuti
2)      Cabai merah
Kingdom                        : Plantae
Divisi                              : Spermatophyta
Kelas                              : Magnoliopsida
Ordo                              : Solanaless
Famili                             : Solanaceae
Genus                             : Capsicum
Spesies                          : Capsicum annum L.
Habitat                           : Dataran rendah dan dataran tinggi
Tanggal diawetkan         : 29 November 2016
Kolektor                         : Sonia Sukma P
3)      Terung
Kingdom                        : Plantae
Divisio                            : Spermatophyta
Kelas                              : Dycotyledonea
Ordo                               : Tubiflorae
Family                            : Solanaceae
Genus                             : Solanum
Spesies                           : Solanum melongena L.
Habitat                           : Dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar   
   1200 mdpl
Tanggal diawetkan         : 29 November 2016
Kolektor                         : Yustar Afif P
4)      Ceplukan
Kingdom                       : Plantae
Divisi                            : Spermatophyta
Kelas                             : Magnoliopsida
Ordo                             : Solanales
Famili                            : Solanaceae
Genus                            : Physalis
Spesies                         : Physalis angulata L.
Habitat                         : Dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar
  1200 mdpl
Tanggal diawetkan         : 29 November 2016
Kolektor                         : Ria Novita
5)      Petunia
Kingdom                       : Plantae
Divisi                            : Spermatophyta
Kelas                             : Magnoliopsida
Ordo                             : Solanales
Famili                            : Solanaceae
Genus                            : Petunia
Spesies                         : Petunia hybrida
Habitat                          : Dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar  
  1200 mdpl
Tanggal diawetkan       : 1 Desember 2016
Kolektor                        : Yulia Lestari

Hasil pembuatan awetan kering tanaman famili Solanaceae yang dilakukan oleh praktikan adalah sebagai berikut:






               Gambar 1. Herbarium kering                          Gambar 2. Herbarium kering
                           (Capsicum frustescens L.)                               (Capsicum annum L.)
   Sumber : Dokumentasi pribadi                       Sumber : Dokumentasi pribadi




 





      Gambar 3. Herbarium kering                    Gambar 4. Herbarium kering
                  (Solanum melongena L.)                           (Physalis angulata L.)
                   Sumber : Dokumentasi pribadi                Sumber : Dokumentasi pribadi
 





Gambar 5. Herbarium kering
(Petunia hybrida)
Sumber : Dokumentasi pribadi

b.      Awetan kering binatang
Pengawetan kering dilakukan pada hewan yang memiliki kerangka luar keras dan tidak mudah rusak akibat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven atau dijemur di bawah terik matahari hingga kadar airnya sangat rendah. Sebelum dikeringkan hewan dimatikan dengan larutan pembunuh, kemudian hewan diatur posisinya. Hewan yang sudah kering kemudian dimasukkan dalam kotak yang diberi kapur barus dan silika gel. Tiap hewan yang diawetkan diberi label yang berisi nama, lokasi penangkapan, tanggal penangkapan dan kolektornya (Johnson, 1995: 214). Pada percobaan yang dilakukan praktikan sama halnya yang diungkapkan oleh johnson, praktikan pertama-tama praktikan membius jangkrik dengan kloroform.
Menurut Christina (1991: 190) Kloroform, Larutan mudah menguap, dapat membius dan melarutkan plastic. Maka dari itu setelah diteteskan kemudian kloroform harus segera dimasukkan kedalam plasik. Setelah memasukkan jangkrik kedalamkloroform kemudian menyuntikan badan bagian belakang(dubur) jangkrik dengan formalin. Setalah disuntikkan dengan formalin kemudian diolesi seluruh bagian tubuhnya dengan menggunakan formalin yang diteteskan pada kapas. kemudian rentangkan pada bagian kaki dan sayap ke arah luar dan tetapkan dengan menggunakan jarum.
Formalin adalah larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung, mata, dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit. Makadari itu saat mengunakan formalin praktikan harus menggunakan kacamata, jika tidak ada kaca mata praktikan harus membilas mata setiap 30 menit sekali agar tidak iritasi. Selain itu formalin juga sebagai bahan yang mengawetkan jangkrik agar dapat awet atau tahan lama. Setelah itu praktikan membiarkan jangkring di udara terbuka selama 24 jam. Hal ini berfungsi agar jangkrik dapat kering. Setelah kering jangkrik akan kaku dan mengeras. Kemudian praktikan memasukkan kedalam insectarium yang sudah dihias agar lebih menarik, selain itu diberikan label untuk mengetahui klasifikasi hewan tersebut dan kolektornya. Berikut adalah gambar awetan kering Jangkrik :

 






Gambar 6. Spesimen Awetan Kering Jangkrik
Sumber : Dokumentasi Praktikum




2.      Pembuatan Spesimen Awetan Basah
a.       Awetan basah tumbuhan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu botol jam, tanaman Kiapu, stick kayu, formalin, akuades/air, dan kertas label. Fungsi dari masing –masing alat dan bahan yaitu:
Botol jam digunakan sebagai wadah untuk menyimpan tanaman yang diawetkan. Stick kayu digunakan untuk menyangga tumbuhan agar posisi tubuh tumbuhan tetap berada di dalam formalin dan tidak berpindah atau pun bergeser dari posisi semula. Air digunakan untuk mencuci kotoran pada tumbuhan Kiapu agar menjadi bersih dan mudah diawetkan. Formalin digunakan untuk mengwetkan tumbuhan yang akan diawetkan tidak rusak dan tetap utuh. Kertas label digunakan untuk memberi keterangan klasifikasi tumbuhan tersebut, disertai identitas, pengumpul (nama pengumpul atau kolektor dan nomor koleksi). Serta dilengkapi keterangan lokasi asal material dan keterangan tumbuhan tersebut untuk kepentingan penelitian dan identifikasi.
Setelah semua alat dan bahan sudah siap, langkah-langkah yang dilakukan dalam percobaan membuat spesimen awetan tumbuhan (herbarium) basah ini yakni menyiapkan tumbuhan yang akan diawetkan; membersihkan kotoran yang ada pada tumbuhan tersebut; menyediakan formalin yang telah dienceran sesuai dengan keinginan, menyiapkan tempat berupa botol penyimpanan yang bersih, kemudian mengisi botolnya dengan formalin; memasukkan tumbuhan yang akan diawetkan dalam botol penyimpanan; mengatur posisinya sehingga mudah diamati; menutup rapat botol dan kemudian memberi label.
Berdasarkan langkah yang tertulis di atas langkah pertama adalah menyiapkan tumbuhan yang akan diawetkan yaitu kiapu. Kemudian membersihkan kotoran yang ada pada tumbuhan tersebut, hal ini dilakukan agar Kiapu menjadi bersih dan mudah diawetkan.
Selanjutnya menyediakan formalin yang telah dienceran sesuai dengan keinginan. Formalin berasal dari larutan formaldehida dalam air dan pelarut lain, umumnya metanol yang berfungsi sebagai stabilisator, mempunyai cara yang unik dalam sifatnya sebagai disinfektan. Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila disinfektan lainnya, seperti tetracycline, amikacin, baytril, mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya. Karena bakteri tidak dapat menguraikan oranagisme, maka organisme tersebut menjadi lebih awet.
Praktikan menggunakan formalin dengan kadar 37%. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Menurut Moenandar (1996),  pembuatan awetan basah pada biota dengan ukuran kecil sebaiknya dengan formalin 4-5 %, dan pada biota dengan ukuran besar menggunakan formalin konsentrasi 10%.
Jadi, seharusnya praktikan mengencerkan formalin terlebih dahulu sampai kadar konsentrasinya sekitar 4%. Kemudian menyiapkan tempat berupa botol penyimpanan yang bersih, dilanjutkan mengisi botolnya dengan formalin. Pada praktikum ini botol yang digunakan yaitu botol toples kaca/botol jam. Hal ini dimaksudkan agar larutan formalin tidak dapat bereaksi dengan zat yang lain. Saat memasukkan formalin, formalin diisikan ke dalam wadah botol kaca sampai batas ¾ botol.
Penuangan formalin harus dilakukan secara hati-hati karena menurut Moenandar (1996) formalin cukup berbahaya jika terhirup atau terkena kulit. Bila terhirup akan mengakibatkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk. Kerusakan jaringan dan luka pada saluran pernafasan seperti radang paru, pembengkakan paru. Tanda-tanda lainnya meliputi bersin, radang tekak, radang tenggorokan, sakit dada, yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual dan muntah. Pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian. Apabila terkena kulit maka akan menimbulkan perubahan warna, yakni kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa terbakar. Untuk menghindari hal itu maka penuangan formalin harus dilakukan secara hati-hati.
Setelah formalin tersebut dituang, barulah spesimen dimasukan kedalam botol kaca yang sudah diisi dengan formalin. Hal ini dilakukan agar spesimen yang akan diawetkan tidak rusak. Jika kita memasukan spesimen dulu, maka mungkin akan terjadi kerusakan pada spesimen saat penuangan formalin.
Selanjutnya mengatur posisi kiapu dalam botol berisi formalin sehingga mudah diamati. Dalam praktikum ini praktikan menggunakan stick kayu . Stick kayu digunakan untuk menyangga tumbuhan agar posisi tubuh tumbuhan tetap berada di dalam formalin dan tidak berpindah atau pun bergeser dari posisi semula. Kiapu diusahakan tercelup semuanya dalam formalin, agar semua bagian tubuh kiapu terawetkan secara sempurna.
Langkah terakhir yaitu menutup rapat botol dan kemudian memberi label. Menurut Ekosari Roektiningroem dan Purwanti Widhy (2015: 31), pembuatan label dalam herbarium ada dua etiket, yaitu etiket gantung yang berisi tentang: nomer koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daeran tingkat II tempat pengambilan (untuk bagian depan)pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain: kop (kepala surat) sebagi pengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomer koleksi,(dd) tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi) nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut.
Praktikan  menggunakan label etiket tempel dalam praktikum ini, namun tidak mencantumkan kop (kepala surat) sebagi pengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomer koleksi,(dd) tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu.  Adapun pelabelan yang telah dilakukan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Filum      : Tracheophyta   
Kelas      : Liliopsida
Ordo      : Alismatales
Family   : Araceae
Genus    : Pistia
Spesies   : Pistia stratiotes
Habitat   : Perairan tawar atau payau (sawah,sungai, kolam, dan danau)
Tanggal diawetkan: 6 Desember 2016
Kelompok: II
Kelas        : IPA A 2015
Tanaman Kiapu ini tumbuh di air yang tenang, seperti danau, kolam, rawa-rawa, hingga sungai yang alirannya tidak deras.Daunnya berwarna hijauatau hijau kebiruan dan berubah kekuningan saat tua dengan ujung membulat dan pangkal agak meruncing. Ukuran daun memiliki panjang sekitar 2-10 cm dan lebar antara 2-6 cm. Tepi daun berlekuk-lekuk dan memiliki rambut tebal yang lembut permukaannya. Daun tebal,kenyal, lembut, sepintas membentuk pahatan seperti mahkota bunga mawar. Pertulangan daun sejajar. Daun-daun tersususn secara roset di dekat akar hingga membentuk bagian seperti batang tanaman. Kiapu tumbuh mengapung di permukaan air yang banyak terkena sinar matahari. Berkembang biak secara generatif melalui biji dan vegetatif melalui stolon. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman air ini sangat cepat hingga menjadikannya sebagai salah satu tanaman hias yang paling mudah perawatannya (Nasution,1986).
Tanaman Kiapu yang digunakan praktikan diambil dari kolam yang terdapat di dekat rumah praktikan tepatnya di Nglengis Sitimulyo, Piyungan, Bantul kemudian pengambilan kiapu dan pengawetannya dilakukan pada hari Selasa, 6 Desember 2016.
Berikut ini merupakan gambar spesimen yang sudah diawetkan didalam botol kaca yang berisi formalin:

 





Gambar 7. Awetan Basah Kiapu
Pistia stratiotes
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Dalam proses pengawetan ini setelah beberapa hari, tumbuhan Kiapu tampak bahwa warnanya sedikit menghilang tetapi morfologinya masih sama segarnya seperti pada saat baru mengambilnya. Dengan demikian dapat praktikan simpulkan bahwa formalin dapat digunakan sebagai pengawet spesimen.
b.      Awetan basah binatang
Berdasarkan praktikum, dapat diketahui proses pengawetan basah pada kuda laut. Berikut hasil pengawetan Kuda laut yang telah dilakukan praktikan.






Gambar 8.  Awetan Basah kuda laut
Hippocampus sp
Sumber : Dokumentasi Praktikum
 Proses pengawetan pada tiap hewan memiliki perlakuan yang berbeda karena perbedaan jaringan pada hewan itu sendiri. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengawetan kuda laut pertama kali yaitu dengan memastikan botol tempat awetan steril, dan menyiapkan alat dan bahan yan diperlukan. Selanjutnya praktikan membius  kuda laut dengan larutan klorofom. Hal ini dilakukan dengan cara memasukkan kuda laut ke dalam plastik transparan yang berisi kapas yang sudah dibasahi oleh larutan klorofom. Larutan klorofom yang mudah menguap ini berfungsi sebagai pembius efektif. Langkah selanjutnya yaitu dengan menakar kadar formalin yang akan digunakan untuk mengawetkan kuda laut yang dilakukan oleh praktikan. Hal ini sangat penting karena apabila salah dalam menggunakan dan menghitung kadar formalin yang akan digunakan dapat merusak jaringan hewan tersebut dan akan membuat awetan rusak. Dalam praktikum ini, disediakan formalin dengan kadar 37%. Dikarenakan formalin yang digunakan sangat pekat, maka dari itu praktikan mengencerkan formalin hingga 5% menggunakan gelas beaker besar (± 800 ml).
Menurut Sundoro (1992), formalin merupakan larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung, mata, dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit. Sehingga proses demi proses harus dilakukan dengan hati- hati. Proses pengenceran ini juga disebut dengan proses peneguhan/ fiksasi (fixing). Selain itu, karena praktikum yang dilakukan menggunakan zat- zat/ bahan kimia berbahaya, kami dianjurkan menggunakan sarung tangan dan masker. Setelah itu, praktikan menyuntikkan formalin pekat (37%) pada kuda laut. Proses penyuntikan ini dilakukan dengan hati-hati karena mengingat tubuh dari kuda laut yang terkesan rentan patah karena kecil. Selanjutnya, praktikan yaitu mengawetkan kuda laut (preserving) dengan memasukkan kuda laut yang telah diikatkan menggunakan batu ke dalam toples yang berisi larutan fiksasi berupa formalin 5%.  Selanjutnya toples ditutup dengan erat agar formalin yang digunakan sebagai larutan pengawet tidak menguap.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, setelah praktikan mengawetkan kuda laut dengan awetan basah menggunakan larutan, praktikan membuat labeling. Labeling tersebut berisi klasifikasi kuda laut, tempat pengambilan, tanggal pengambilan dan pengawetan, dan nama kolektor. Berikut klasifikasi kuda laut yang diawetkan praktikan menurut Burton dan Maurice (1983) :
Kingdom         : Animalia
Filum               : Chordata
Sub filum         : Vertebrata
Kelas                : Pisces
Sub kelas         : Teleostomi
Ordo                : Gasterosteidormes
Famili               : Syngnathidae
Genus              :Hippocampus
Spesies             :Hippocampus sp
Nama Lokal     : Kuda laut


3.      Pembuatan Spesimen Awetan Bioplastik
Kegiatan pembuatan spesimen awetan bioplastik ini bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik dan mengetahui perbandingan resin dan katalis yang sesuai untuk pembuatan spesimen awetan. Kegiatan ini dilakukan pada hari Jumat, 16 Desember 2016 di Laboratorium IPA 2 FMIPA UNY dengan menggunakan bahan spesimen yang akan diawetkan yaitu rumput belulang atau Eleusine indica L., minyak goreng, resin bening, dan katalis. Selain menggunakan bahan tersebut, praktikan juga mengunakan alat- alat berikut yakni wadah, cetakan, gelas ukur, jarum pentul, dan amplas.
Sebelum melakukan kegiatan pembuatan spesimen awetan bioplastik, praktikan terlebih dahulu menyiapkan spesimen yang akan diawetkan dan label etiket tempel yang dicetak pada kertas plastik.  Label harus dicetak pada kertas plastik karena label tersebul akan ditempelkan pada resin. Label etiket tempel yang berisi identitas kolektor, tanggal diawetkan, klasifikasi spesimen, nama lokal, dan habitat spesimen tersebut. Berikut merupakan label etiket tempel awetan ini :
Kolektor
Kelompok II (kelas IPA A 2015)
Anggota kelompok
1.      Yulia Lestari
2.      Yustar Afif P
3.      Reni Primastuti
4.      Sonia Sukma P
5.      Ria Novita
Nama lokal
Rumput belulang
Kingdom
Plabtae
Filum
Magnoliophyta
Kelas
Liliopsida
Ordo
Poales
Famili
Poaceae
Genus
Eleusine
Spesies
Eleusine indica L.
Habitat
Tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1600 m dpl.
Tanggal diawetkan
20 Desember 2016

Spesimen rumput belulang yang akan digunakan terlebih dahulu harus diawetkan dengan cara awetan kering secara alami seperti yang telah dijelaskan pada pengawetan kering herbarium secara alami. Stelah spesimen dikeringkan, maka spesimen sudah siap untuk diawetkan dengan teknik bioplastik. Dalam pembuatan spesimen awetan bioplastik ini terdapat dua prosedur yaitu mixing dan finishing. Pada proses mixing, praktikan terlebih dahulu membuat adonan campuran resin bening dan katalis dengan perbandingan 100 : 1. Resin merupakan bahan kimia yang berbentuk cair menyerupai minyak goreng tetapi lebih kental. Padanan resin adalah katalis, yaitu cairan yang berwarna bening dan berbau sedikit menyengat dan berfungsi untuk mempercepat proses pengerasan adonan fiber. Semakin banyak katalis maka semakin cepat adonan mengeras tetapi hasilnya kurang bagus (Ekosari dan Purwanti, 2015 : 35).
Praktikan membuat adonan pertama dengan mencampurkan 50 ml resin dan 0,5 ml katalis. Adonan tersebut dicampur dalam wadah dan diaduk menggunakan jarum pentul hingga rata. Selain itu praktikan terlebih dahulu harus mengolesi cetakan dengan minyak goreng. Pengolesan dengan minyak goreng ini bertujuan supaya mempermudah saat melepaskan hasil akhir resin dari cetakan. Setelah diolesi dengan minyak, kemudian praktikan menuangkan adonan tersebut setebal ± 0,5 cm kedalam cetakan yang telah disesuiakan ukurannya dengan spesies dan label dan tunggu hingga adonan tersebut mengeras. Penuangan adonan yang pertama ini bertujuan sebagai alas bioplastik dan harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak timbul gelembung pada hasil cetakan, karena gelembung dapat membuat hasil awetan tidak terlihat jelas. untuk menghindari hal tersebut, apabila telah terbentuk gelembung sebaiknya gelembung tersebut ditusuk menggunakan jarum pentul. Selain itu, penuangan juga harus dilakukan dengan hati-hati karena adonan akan terasa panas apabila terkena kulit.
Sembari menunggu adonan mengeras, praktikan membuat adonan kedua dengan mencampurkan 70 ml resin dan 0,7 ml katalis. Selanjutnya praktikan meletakkan spesimen diatas adonan pertama dengan posisi yang sesuai lalu menuangkan adonan kedua hingga spesimen tertutup oleh adonan dan menunggu hingga mengeras. Pada setiap penuangan adonana harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai mengenai kulit dan bergelembung. Sembari menunggu adonan tersebut mengeras, praktikan membuat adonan yang terakhir yaitu dengan mencampurkan 30 ml resin dan 0,3 katalis.  Sebelum menuangkan adonan yang terakhir, praktikan terlebih dahulu menempelkan label yang telah disediakan sebelumnya. Peletakan label harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak terdapat gelembung. Setelah label berhasil ditempelkan, praktikan selanjutnya menuangkan adonan terakhir secara menyeluruh dan menutupi label. Selanjutya praktikan menunggu adonan hingga kering dan mengeras, hal ini mengakhiri proses mixing.
Proses yang selnajutnya adalah finishing. Pada proses ini praktikan melepaskan resin yang telah berisi spesimen dari cetakan. Setelah dilepaskan dari cetakan ternyata permukaan bioplastik belum mulus sehingga perlu dilakukan pengamplasan agar permukaan bioplastik lebih halus. Pada proses pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik, pembuatan adonan resin dilakukan secara bertahap karena apabila dilakukan secara sekaligus dengan porsi yang banyak akan membuat resin mengeras saat menunggu penuangan selanjutnya dan resin tidak dapat digunakan sehingga mubazir.
Berikut merupakan hasil awetan bioplastik oleh praktikan :





Gambar 9. Spesimen Awetan Bioplastik
Eleusine indica L.
Sumber : Dokumentasi Praktikum


G.    KESIMPULAN
Setelah melakukan percobaan ini dapat disimpulkan bahwa :
1.      Teknik pembuatan spesimen awetan kering tumbuhan secara pengeringan alami adalahdilakukan dengan cara menyiapkan spesimen tanaman yang akan diawetkan. Membersihkan kotoran dan tanah dari tanaman yang akan diawetkan dengan air mengalir kemudian mengeringkannya. Menyediakan alkohol sesuai dengan kebutuhan. Mengoleskan alkohol dengan tisu pada seluruh bagian spesimen tanaman. Mengatur posisi tanaman di atas koran dan pada beberapa bagian tanaman direkatkan dengan solasi. Menangkup dengan kertas koran lain dan meletakkan buku tebal di atasnya. Menunggu beberapa hari hingga spesimen tanaman benar-benar kering. Meletakkan spesimen tanaman yang sudah kering di atas kertas karton, mengatur posisinya dan menyelotip beberapa bagian spesimen tanaman. Memberi label kemudian dikemas dengan plastik mika.
2.      Teknik pembuatan spesimen awetan kering binatang adalah dengan mengeringkan jangkrik dengan dibius jangkrik dengan kloroform. Kloroform, Larutan mudah menguap, dapat membius dan melarutkan plastic. Maka dari itu setelah diteteskan kemudian kloroform harus segera dimasukkan kedalam plasik. Setelah memasukkan jangkrik kedalamkloroform kemudian disuntikan badan bagian belakang(dubur) jangkrik dengan formalin. Setalah disuntikkan dengan formalin kemudian diolesi seluruh bagian tubuhnya dengan menggunakan formalin yang diteteskan pada kapas. Kemudian direntangkan pada bagian kaki dan sayap ke arah luar dan tetapkan dengan menggunakan jarum. Karena sifat formali yang akan membuat pedih mata maka harus membilas mata setiap 30 menit sekali agar tidak iritasi. Setelah itu membiarkan jangkring di udara terbuka selama 24 jam. Setelah kering jangkrik akan kaku dan mengeras. Kemudian dimasukkan kedalam insectarium yang sudah dihias agar lebih menarik, selain itu diberikan label untuk mengetahui klasifikasi hewan tersebut dan kolektornya.
3.      Teknik pembuatan spesimen awetan basah binatang adalah dengan menyiapkan spesimen binatang yang akan diawetkan, membersihkan kotoran yang terdapat pada tubuh binatang tersebut, menyediakan formalin yang telah diencerkan menjadi 4 %, menyiapkan wadah berupa botol kaca yang bersih atau steril yang kemudian diisi dengan formalin 4 % dengan volume yang sesuai dengan ukuran spesimen binatang sehingga spesimen tersebut dapat tercelup sempurna didalam larutan formalin. Selanjutnya menutup botol kaca dengan rapat dan memberi label.
4.      Teknik pembuatan spesimen awetan basah tumbuhan adalah dilakukan dengan cara menyiapkan tumbuhan yang akan diawetkan, membersihkan kotoran yang ada pada tumbuhan tersebut, menyediakan formalin yang telah diencerkan menjadi 4 %, menyiapkan tempat berupa botol penyimpanan yang bersih, kemudian mengisi botolnya dengan formalin; memasukkan tumbuhan yang akan diawetkan dalam botol penyimpanan; mengatur posisinya sehingga mudah diamati; menutup rapat botol dan kemudian memberi label.
5.      Teknik pembuatan label ada dua macam yakni label etiket gantung dan label etiket tempel, sedangkan dalam percobaan praktikan menggunakan label etiket tempel yang mencantumkan: kop (kepala surat) sebagipengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi)nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut.
6.      Teknik pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik dilakukan dengan dua tahap yaitu mixing dan finishing. Pada tahap mixing, dilakukan dengan mencampurkan resin dan katalis dengan perbandingan yang tepat yaitu 100:1 ml. Setelah itu menuangkan resin kedalam cetakan setebal ± 0,5 cm untuk alas kedalam cetakan yang telas diolesi minyak goreng dan menunggu hingga mengeras. Kemudian meletakkan spesimen yang akan diawetkan dengan posisi yang telah ditentukan sehingga tidak terbalik. Setelah itu ditutup kembali menggunakan resin hingga tertutup sempurna dengan hati-hati supaya tidak timbul gelembungdan menunggu hingga mengeras. Lalu menempelkan label dan menutup label tersebut dengan menggunakan adonan resin. Kemudian tunggu sampai mengeras. Tahap selanjutnya adalah tahap finishing, pada tahap ini spesimen dalam resin baru dikeluarkan dari cetakannya. Apabila permukaan resin hasil cetakan belum mulus, dapat dilakukan pengamplasan pada permukaan resin agar lebih halus.
7.      Perbandingan yang tepat antara resin dan katalis dalam pembuatan spesimen awetan bioplastik ini adalah 100 : 1, artinya 100 ml resin ditambah 1 ml katalis. Katalis berfungsi untuk mempercepat proses pengerasan adonan fiber namun jika kelebihan hasilnya tidak bagus.



















H.    DAFTAR PUSTAKA
Burton, R dan Maurice. 1983. Sea Horse . Amerika : Departement Of Ichtiology.
Christina, Lilies. 1991.  Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta: Kanisius.
Ekosari Roektiningroem dan Purwanti Widhy. 2015. Petunjuk Praktikum Pengelolaan
& Teknik Laboratorium IPA. Yogyakarta : FMIPA UNY.
Johnson, Jung. 1995. Binatang Merayap. Jakarta : Gramedia
Moenandar, J. 1996. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, U. 1986. Gulma  dan  Pengendaliannya di  Perkebunan  Karet  Sumatera
Utara dan Aceh. Jakarta : PT. Gramedia.
Onrizal. 2005. Teknik Pembuatan Herbarium. Sumatera Utara : Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Ramadhanil. 2003. Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya dalam Menunjang PenelitianTaksonomi Tumbuhan di Sulawesi. Solo: UNS.
Rugayah, Retnowati, A., Windadri, F.I., dan A. Hidayat. 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanakaragaman Flora . Jakarta: Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Setyadi, B. 2004. Bioplastik. Bandung : UPI.
Setyawan, A. D, dkk. 2004. Penyiapan Spesimen Awetan. Solo : Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret.
Steenis, Van ,C.G.G.J. 2003. Flora. Jakarta : PT.Pradnya Paramita.
Sundoro, S.H. 1992. Metode Pewarnaan (Histologis dan Histokimia). Jakarta : Bhataro Karya Aksara.
Suyitno, A. L. 2004. Penyiapan Spesimen Awetan. Yogyakarta : Jurusan Biologi FMIPA UNY.
           



           

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PRAKTIKUM IPA TERAPAN | VACUUM CLEANER

LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN DAN TEKNIK LABORATORIUM IPA | PRAKTIKUM DAYA LISTRIK