LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN DAN TEKNIK LABORATORIUM IPA | Teknik Pembuatan Spesimen Awetan Kering, Basah dan Bioplastik
LAPORAN
PRAKTIKUM PENGELOLAAN DAN TEKNIK LABORATORIUM IPA
Teknik
Pembuatan Spesimen
Awetan
Kering, Basah dan Bioplastik
Disusun oleh :
Kelompok 2
1.
Yulia
Lestari (15312241014)
2.
Yustar
Afif P. (15312241028)
3.
Reni
Primastuti (15312241030)
4.
Sonia
Sukma P. (15312241033)
5.
Ria
Novita (15312244006)
Kelas IPA A 2015
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Desember, 2016
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKTIKUM TEKNIK PEMBUATAN SPESIMEN AWETAN
KERING, BASAH, DAN BIOPLASTIK
Oleh :
Kelompok 2
Yogyakarta, 19 Desember 2016
Anggota:
Nama
|
NIM
|
Tanda Tangan
|
Yulia Lestari
|
15312241014
|
|
Yustar Afif P.
|
15312241028
|
|
Reni Primastuti
|
15312241030
|
|
Sonia Sukma P.
|
15312241033
|
|
Ria Novita
|
15312244006
|
|
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
(.....................................)
A. JUDUL
Teknik Pembuatan Spesimen Awetan Kering,
Basah, dan Bioplastik
B.
TUJUAN
1.
Mengetahui
teknik pembuatan spesimen awetan tumbuhan secara pengeringan alami.
2.
Mengetahui
teknik pembuatan spesimen awetan kering binatang.
3.
Mengetahui
teknik pembuatan spesimen awetan basah tumbuhan.
4.
Mengetahui
teknik pembuatan spesimen awetan basah binatang.
5.
Mengetahui
cara pembuatan label (labeling).
6.
Mengetahui
cara pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik.
7.
Mengetahui
perbandingan resin dan katalis yang sesuai untuk pembuatan spesimen awetan.
C.
KAJIAN
PUSTAKA
1.
Pengertian
Herbarium
Herbarium merupakan istilah yang pertama kali
digunakan oleh Turnefor (1700) untuk tumbuhan obat yang dikeringkan sebagai
koleksi. Luca Ghini (1490-1550) seorang Professor Botani di Universitas
Bologna, Italia adalah orang pertama yang mengeringkan tumbuhan di bawah
tekanan dan melekatkannya di atas kertas serta mencatatnya sebagai koleksi
ilmiah (Ramadhanil, 2003).
Herbarium merupakan suatu spesimen dari bahan tumbuhan yang telah dimatikan
dan diawetkan melalui metoda tertentu dan dilengkapi dengan data-data mengenai
tumbuhan tersebut. Membuat herbarium yaitu pengumpulan tanaman kering untuk
keperluan studi maupun pengertian, tidaklah boleh diabaikan. Yaitu melalui
pengumpulan, pengeringan, pengawetan, dan dilakukan pembuatan herbarium
(Steenis, 2003).
Herbarium
dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau
kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus pohon dan semak disertakan ujung
batang, daun, bunga dan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan
seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk spesimen yang mudah
dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar, sedangkan herbarium basah
digunakan untuk spesimen yang berair dan lembek, misalnya buah (Setyawan dkk,
2004).
Menurut
Onrizal (2005:1), kegunaan herbarium antara lain:
a. Sebagai
pusat referensi : Merupakan sumber utama untuk identifikasi tumbuhan bagi para
ahli taksonomi, ekologi, petugas yang menangani jenis tumbuhan langka, pecinta
alam, para petugas yang bergerak dalam konservasi alam.
b. Sebagai
lembaga dokumentasi : Merupakan koleksi yang mempunyai nilai sejarah, seperti
tipe dari taksa baru, contoh penemuan baru, tumbuhan yang mempunyai nilai
ekonomi dan lain lain
c. Sebagai
pusat penyimpanan data : Ahli kimia memanfaatkannya untuk mempelajari alkaloid,
ahli farmasi menggunakan untuk mencari bahan ramuan untuk obat kanker, dan
sebagainya.
2. Cara
Pembuatan Herbarium
Pembuatan
herbarium dimulai dengan mengumpulkan material herbarium yang diambil, terutama
identifikasi dan dokumentasi. Identifikasi pada tanaman diperlukan ranting,
daun, kuncup, kadang-kadang bunga dan buah dalam satu kesatuan. Material
herbarium yang lengkap mengandung ranting daun muda dan tua, kuncup bunga,
bunga tua dan muda yang sudah mekar, serta buah muda dan tua, material
herbarium dengan bunga dan buah disebut herbarium fertil, sedangkan material
herbarium tanpa bunga dan buah disebut material herbarium yang steril (Rugayah,
2004).
Adapun
langkah-langkah dalam pengawetan menurut Christina (1991: 189) ada 2 tahap
yaitu :
a. Koleksi
Hewan-hewan yang akan diawetkan dalam bentuk utuh dan akan
dibawa ke kelas atau ke Laboratorium biasanya hewan-hewan yang berukuran
relatif kecil. Hewan yang akan diawetkan ditangkap menggunakan alat yang
sesuai. Hewan yang tertangkap dimasukkan dalam botol koleksi yang sudah diberi
label.
b. Mematikan
(killing), Meneguhkan (fixing), dan mengawetkan (preserving)
Proses mematikan dan meneguhkan memerlukan perlakuan dan bahan
tertentu. Bahan untuk mematikan biasanya adalah Ether, Kloroform, HCN/KCN,
Karbon Tetracloride (CCL4) atau Ethyl acetat. Namun, kadangkadang perlu
perlakuan khusus yaitu melalui pembiusan sebelum proses mematikan dilakukan,
agar tubuh hewan yang akan diawetkan tidak mengkerut atau rusak. Pembiusan
dilakukan dengan serbuk menthol atau kapur barus ke permukaan air tempat
hidupnya, setelah tampak lemas, dan tidak bereaksi terhadap sentuhan, hewan
dapat dipindahkan ke dalam larutan pengawet.
c. Meneguhkan/
fiksasi (Fixing)
d. Mengawetkan
(Preserving)
Beberapa
bahan pengawet yang dapat digunakan antara lain, formalin, alkohol (ethil
alkohol), resin atau pengawet berupa ekstrak tanaman. Bahan-bahan pengawet ini
mudah dicari, murah dan hasilnya cukup bagus, meskipun ada beberapa kelemahan.
Menurut
Ekosari dan Purwanti (2015: 32) dalam Diktat Petunjuk Praktikum Pengelolaan dan
Teknik Laboratorium IPA, langkah/ teknik pembuatan awetan basah pada tumbuhan
lumut dilakukan dengan cara:
a. Bersihkan
kotoran dan tanah dari tumbuhan lumut yang ingin diawetkan.
b. Siapkan
larutan fiksatif dengan komposisi: (1) asam asetat glasial sebanyak 5 ml; (2)
formalin sebanyak 10 ml; (3) etil alkohol sebanyak 50 ml.
c. Selanjutnya
untuk mempertahankan warna hijau lumut, dapat pula ditambahkan ke dalam larutan
fiksatif tadi larutan tembaga sulfat dengan komposisi: (1) tembaga sulfat 0,2
gram; dan (2) aquades sebanyak 35 ml.
d. Matikan
lumut dengan merendamnya ke dalam larutan fiksatif yang telah ditambahkan
larutan tembaga sulfat tadi. Biasanya diperlukan 48 jam perendaman.
e. Siapkan
tempat berupa botol penyimpanan yang bersih, kemudian isi dengan alkohol 70%
sebagai pengawetnya.
f. Masukkan
lumut yang telah siap tadi dalam botol penyimpanan, atur posisinya sehingga
mudah diamati.
g. Buatkan
label berupa nama spesies lumut tanpa mengganggu pengamatan.
h. Awetan
basah tumbuhan lumut siap digunakan. Secara berkala atau bila perlu, misalnya
larutan menjadi keruh atau berkurang, gantilah dengan larutan pengawet yang
baru secara hati-hati.
Menurut
Christina (1991: 190) Bahan pengawet dan peneguh yang digunakan biasanya
berbahaya bagi manusia, maka perlu dikenali sifat-sifatnya. Adapun sifat-sifat
larutan pengawet adalah:
a. Alkohol, merupakan
bahan yang mudah terbakar, bersifat disinfektan dan tidak korosif.
b. Formalin,
larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung, mata, dan
sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit.
c. Ether,
larutan mudah menguap, beracun, dapat membius dengan konsentrasi rendah,
eksplosiv.
d. Kloroform,
Larutan mudah menguap, dapat membius dan melarutkan plastic. Berfungsi sebagai
pembius.
e. Karbon
tetracloride, larutan mudah menguap, melarutkan plastik dan lemak, membunuh
serangga.
f. Ethil
acetat, larutan mudah menguap, dapat membius dan mematikan serangga atau
manusia.
g. Resin,
merupakan larutan yang tidak mudah menguap mudah mengeras dengan penambahan
larutan katalis, karsinogenik, dapat mengawetkan specimen dalam waktu yang
sangat lama.
h. KCN/HCN,
larutan pembunuh yang sangat kuat, sangat beracun, bila tidak terpaksa jangan
gunakan larutan ini.
3.
Jenis Teknik Pengawetan
a.
Pengawetan Basah
Herbarium basah, setelah material
herbarium diberi label gantung dan dirapikan, kemudian dimasukkan ke dalam
lipatan kertas koran. Satu lipatan kertas koran untuk satu specimen (contoh).
Tidak benar digabungkan beberapa specimen di dalam satu lipatan kertas.
Selanjutnya, lipatan kertas koran berisi material herbarium tersebut ditumpuk
satu diatas lainnya. Tebal tumpukan disesuaikan dengan dengan daya muat kantong
plastik (40 × 60) yang akan digunakan. Tumpukkan tersebut dimasukkan ke dalam kantong
plastik dan disiram alcohol 70 % atau spiritus hingga seluruh bagian tumbukan
tersiram secara merata, kemudian kantong plastic ditutup rapat dengan isolatip
atau hekter supaya alcohol atau spiritus tidak menguap keluar dari kantong
plastik (Onrizal, 2005: 2).
Menurut Ekosari Roektiningroem dan
Purwanti Widhy (2015: 31), pembuatan label dalam herbarium ada dua etiket, yaitu etiket gantung yang berisi tentang: nomer koleksi, inisial nama
kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daeran tingkat II tempat pengambilan
(untuk bagian depan)
pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain: kop (kepala surat) sebagipengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi)nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut. Dalam praktikum biologi khususnya Zoologi dan Botani lazimnya dibutuhkan spesimen (contoh) segar. Kadang-kadang kebutuhan ini sulit untuk dipenuhi karena memerlukan persediaan hewan-hewan hidup dan tidak semua jenis hewan dan tumbuhan bisa dipelihara di laboratorium atau sekitarnya. Oleh karena itu untuk kepentingan praktikum disediakan spesimen awetan.
pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain: kop (kepala surat) sebagipengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi)nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut. Dalam praktikum biologi khususnya Zoologi dan Botani lazimnya dibutuhkan spesimen (contoh) segar. Kadang-kadang kebutuhan ini sulit untuk dipenuhi karena memerlukan persediaan hewan-hewan hidup dan tidak semua jenis hewan dan tumbuhan bisa dipelihara di laboratorium atau sekitarnya. Oleh karena itu untuk kepentingan praktikum disediakan spesimen awetan.
Pembuatan awetan spesimen diperlukan untuk tujuan pengamatan spesimen
secara praktis tanpa harus mencari bahan segar yang baru. Terutama untuk spesimen-spesimen
yang sulit di temukan di alam. Awetan spesimen dapat berupa awetan basah atau
kering, untuk awetan kering, tanaman diawetkan dalam bentuk herbarium. Awetan
basah, baik untuk hewan maupun tumbuhan biasanya dibuat dengan merendam seluruh
spesimen dalam larutan formalin 4% (Suyitno, 2004).
b.
Pengawetan Kering
Herbarium
kering, cara kering menggunakan dua macam proses yaitu, pengeringan langsung
dan pengeringan bertahap. Pengeringan langsung, yakni tumpukan material
herbarium yang tidak terlalu tebal di pres di dalam sasak, untuk mendapatkan
hasil yang optimum sebaiknya dipres dalam waktu dua minggu kemudian dikeringkan
diatas tungku pengeringan dengan panas yang diatur di dalam oven. Pengeringan
harus segera dilakukan karena jika terlambat akan mengakibatkan material
herbarium rontok daunnya dan cepat menjadi busuk. Sedangkan pengeringan
bertahap, yakni material herbarium dicelup terlebih dahulu di dalam air
mendidih selama 3 menit, kemudian dirapikan lalu dimasukkan ke dalam lipatan
kertas koran. Selanjutnya, ditumpuk dan dipres, dijemur atau dikeringkan di atas
tungku pengeringan. Selama proses pengeringan material herbarium itu harus
sering diperiksa dan diupayakan agar pengeringannya merata. Setelah kering,
material herbarium dirapikan kembali dan kertas koran bekas pengeringan tadi
diganti dengan kertas baru. Kemudian material herbarium dapat dikemas untuk
diidentifikasi (Onrizal, 2005).
c.
Pengawetan dengan Bahan Bioplastik
Bioplastik merupakan pengawetan spesimen binatang
atau tumbuhan dalam blok resin untuk digunakan sebagai media pembelajaran.
Spesimen hewan atau tumbuhan dalam blok resin selain berfungsi sebagai media
pembelajaran, juga dapat berfungsi sebagai ornamen.Sebelum dicetak, resin
berupa cairan yang kental. Resin merupakan senyawa organik hasil metabolisme
sekunder, tersusun atas karbon. Senyawa ini akan mengalami polimerisasi dalam
kondisi yang tepat. Reaksi polimerisasi bersifat eksoterm sehingga akan
menimbulkan panas. Untuk mempercepat polimerisasi digunakan katalis. Jumlah
cairan katalis yang ditambahkanakan mempengaruhi terhadap cepat atau lambatnya
proses polimerisasi, efeknya adalah jumlah panas yang dikeluarkan. Semakin
banyak katalis yang ditambahkan akan semakin cepat dan semakin panas (Ekosari
dan Purwanti, 2015 : 35).
Spesimen
tumbuhan maupun hewan dapat juga diawetkan dalam blok resin (sering dikenal
dengan istilah bioplastik). Spesimen yang sesuai untuk diawetkan dalam blok
resin adalah yang tidak terlampau kecil ukurannya dan tidak rusak strukturnya
dalam kondisi kering. Bahan utama yang digunakan untuk pengawetan adalah cairan
resin yang biasa digunakan dalam pembuatan fiberglass, pin, gantungan
kunci, piala dan berbagai cindera mata yang lain.
Resin
merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder, tersusun atas karbon.
Senyawa ini akan mengalami polimerisasi dalam kondisi yang tepat. Reaksi
polimerisasi bersifat eksoterm sehingga akan menimbulkan panas. Bila dibiarkan
di udara terbuka, secara alami proses polimerisasi berlangsung secara lambat. Alat dan bahan untuk pengawetan spesimen
dalam blok resin
1) Spesimen
yang sudah dimatikan/dikeringkan.
2) Cairan
resin Untuk mempercepat polimerisasi resin digunakan katalis.
3) Jumlah
cairan katalis yang ditambahkan akan memengaruhi terhadap cepat atau lambatnya
proses polimerisasi.
4) Peralatan
dan bahan lain yang digunakan adalah gurinda atau kikir, amplas duco berbagai
ukuran, gelas bekas air mineral, pengaduk, pinset, cetakan , label terbuat dari
plastik transparan.
5) Untuk
proses finishing biasanya digunakan compound, sanpoly atau kit
dan kain halus untuk menggosok permukaan blok.
Berikut merupakan
proses pembuatan awetan blok resin :
1) Penyiapan
spesimen
Perlakuan
awal pada spesimen perlu diperhatikan dengan benar. Salah penanganan dapat
mengakibatkan hasil yang tidak memuaskan misalnya perubahan warna, bentuk, dan
ukuran. Spesimen yang akan diblok dalam resin harus dalam keadaan kering.
Pengeringan spesimen dapat dilakukan dengan cara dehidrasi di udara terbuka,
menggunakan formalin, kloroform, atau dioven. Untuk spesimen tumbuhan dapat
dikeringkan dengan cara pengepresan menggunakan buku tebal selama beberapa hari
atau dikeringkan dengan menggunakan setrika. Pengeringan dengan menggunakan
setrika harus dijaga benar agar suhu tidak terlalu panas. Jika terlalu panas,
spesimen akan hangus.
2) Pembuatan
blok resin
a) Siapkan
cetakan, yakinkan bagian sudut dan tepi tidak bocor.
b) Tuangkan
resin secukupnya ke dalam gelas bekas air mineral, tambahkan katalis sambil
diaduk perlahan. Menurut Setyadi (2004) perbandingan resin dan katalis kurang
lebih 20 : 1. Namun sebenarnya tidak ada rumus yang baku untuk proses ini.
Semuanya dilakukan dengan proses eksperimen. Dari hasil eksperimen akan
dihasilkan perbandingan resin dan katalis untuk reaksi cepat, reaksi sedang,
dan reaksi lambat. Jika terlalu banyak katalis akan menyebabkan spesimen
mengalami pemanasan dan blok menjadi retak atau pecah. Jumlah katalis yang
terlalu sedikit juga menyebabkan pembentukan blok menjadi lambat atau tidak
kering dalam waktu yang dikehendaki. Dalam kondisi normal tanpa katalis resin
akan memadat sekitar 24-48 jam. Suhu ruangan juga berpengaruh pada lamanya
pemadatan resin.
c) Untuk
membuat lapisan dasar, tuangkan campuran resin pada cetakan dengan ketebalan
sekitar 0,5 cm.
d) Apabila
lapisan dasar sudah cukup kering, tempatkan spesimen yang sudah dipersiapkan
dengan hati-hati. Bila diperlukan label, tempatkan secara bersamaan.
e) Buat
campuran resin dan katalis untuk lapisan pengikat sedikit saja dan tuangkan
dengan hati-hati pada spesimen yang telah diletakkan pada lapisan dasar.
f) Jika
lapisan pengikat sudah membentuk gel (cek dengan ujung tusuk gigi). Tuangkan
campuran resin dan katalis sebagai lapisan penutup.
3) Pembentukan,
penghalusan, dan finishing
Pembentukan
dapat menggunakan gerinda, kikir atau amplas kasar. Pembentukan bertujuan untuk
meratakan permukaan yang kasar dan membentuk blok yang tepat. Setelah proses
pembentukan, dilanjutkan dengan proses penghalusan menggunakan amplas
bertingkat dari yang kasar hingga yang halus. Proses terakhir adalah finishing,
yang bertujuan untuk menghaluskan dan membuat transparan permukaan blok
resin. Untuk proses finishing biasanya digunakan compound, sanpoly atau
kit dan digosok dengan kain yang halus.
Berikut merupakan
kelebihan dan kekurangan spesimen awetan dalam blok resin :
1) Spesimen
yang diawetkan bisa dilihat dari semua sisi sehingga gejala struktural objek
dapat teramati.
2) Selain
sebagai media pembelajaran, dapat juga digunakan sebagai hiasan (ornamen).
Keindahan objek dapat terjaga dan dapat dilihat secara utuh sehingga dapat
meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam mempelajari objek tersebut.
3) Lebih
kuat dan tahan lama dibandingkan spesimen awetan lain seperti insektarium dan
herbarium.
4) Siswa
dapat memanfaatkan media untuk belajar sambil bermain. Sebagai contoh untuk
mempelajari urutan dan ciri-ciri tiap fase dalam siklus hidup kupu-kupu, setiap
tahap/fase diawetkan dalam blok-blok resin yang terpisah. Ketika akan digunakan
blok-blok spesimen diletakkan secara acak kemudian siswa diminta untuk
mengamati ciri-ciri tiap fase dan mengurutkannya dengan benar.
5) Praktis
dalam penyimpanan. Meskipun memiliki banyak kelebihan, namun penggunaan
spesimen awetan dalam blok resin juga mempunyai kekurangan. Salah satu di
antaranya adalah spesimen tidak dapat disentuh/diraba sehingga gejala objek
yang bisa diobservasi hanyalah gejala struktural yang mengandalkan indera
penglihatan saja.
4. Teknik Pembuatan Label (labeling)
Dalam herbarium ada dua macam label etiket, yaitu
etiket gantung yang berisi tentang; nomor koleksi, inisial nama kolekor,
tanggal pengambilan spesimen ddan daerah tingkat II tempat pengambilan (untuk
bagian depan) dan nama ilmiah spesimen (untuk bagian belakang ). Pada etiket
tempel yang harus dicantumkan antara lain ; kop (kepala surat) sebagai pengenal
identitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomor koleksi, (dd) tanggal
menempel, (determinasi) nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula)
pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dan (annotatione)
deskripsi spesimen tersebut. (Ekosari dan Purwanti, 2015:31)
D.
METODOLOGI
PRAKTIKUM
1. Tempat dan Waktu Praktikum
a. Tempat
: Laboratorium IPA
2
b. Waktu
: 1) Awetan Kering :
Selasa, 29 November 2016
2) Awetan Basah :
Selasa, 6 Desember 2016
3) Bioplastik :
Jumat, 16 Desember 2016
2.
Alat
dan Bahan
a.
Awetan
kering tumbuhan
1)
Spesimen : Capsicum annum, Solanum melongena, Capsicum frustescens, Physalis
angulata, dan Petunia hybrida
2) Alkohol
96%
3) Kapas
4) Koran
5) Solasi
6) Gunting
7) Buku
tebal
8) Air
9) Kertas
karton
10) Kertas label
11) Plastik mika
b. Awetan
kering binatang
1) Spesimen
: Jangkrik
2) Klorofom
3) Formalin
4) Jarum
suntik
5) Kantong
Plastik
6) Kapas
7) Jarum
Pentul
8) Sterofom
c.
Awetan
basah tumbuhan
1)
Botol
jam/ toples kaca
2)
Spesimen
: Kiapu
3)
Stick
Kayu
4)
Formalin
5)
Akuades
6)
Kertas
Label
d. Awetan
basah binatang
1) Botol jam/ toples kaca
2) Spesimen : Kuda laut
3) Formalin
4) Kloroform
5) Akuades
6) Plastik Label
e.
Awetan
bioplastik
1)
Spesimen
: Ampal
2)
Resin
3)
Katalis
4)
Minyak
goreng
5)
Cetakan
6)
Gelas
ukur
7)
Amplas
8)
Label
9)
Wadah
10) Jarum pentul
3.
Langkah
Kerja
a.
Awetan
kering tumbuhan
c.
Awetan basah
tumbuhan

d.
Awetan
basah binatang
![]() |
|
![]() |
|
![]() |
e.
Awetan
bioplastik

E. DATA
HASIL PENGAMATAN
1.
Spesimen
Awetan Kering
No.
|
Awetan
|
Nama
|
Gambar
|
1.
|
Tumbuhan
|
Cabai Rawit
|
![]() |
Cabai Merah
|
![]() |
||
Terung
|
![]() |
||
Ceplukan
|
![]() |
||
Petunia
|
![]() |
||
2.
|
Hewan
|
Jangkrik
|
![]() |
2.
Spesimen
Awetan Basah
No.
|
Awetan
|
Nama
|
Gambar
|
1.
|
Tumbuhan
|
Kiapu
|
![]() |
2.
|
Hewan
|
Kuda Laut
|
![]() |
3.
Spesimen
Awetan Bioplastik
No.
|
Awetan
|
Nama
|
Gambar
|
1.
|
Hewan
|
Ampal
|
![]() |
F.
PEMBAHASAN
Percobaan kali ini
berjudul “Teknik Pembuatan Spesimen Awetan
Kering, Basah dan Bioplastik” yang bertujuan untuk mengetahui teknik pembuatan
spesimen awetan tumbuhan secara pengeringan alami, mengetahui teknik pembuatan
spesimen awetan kering binatang, mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan
basah tumbuhan, mengetahui teknik pembuatan spesimen awetan basah binatang,
mengetahui cara pembuatan label (labeling),
mengetahui cara pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik dan
mengetahui perbandingan resin dan katalis yang sesuai untuk pembuatan spesimen
awetan. Dalam percobaan ini praktikan melakukan 3 kegiatan yaitu melakukan
pembuatan spesimen awetan kering, pembuatan spesimen awetan basah, dan
pembuatan spesimen awetan bioplastik. Berikut merupakan penjelasan dari
masing-masing kegiatan :
1.
Pembuatan
Spesimen Awetan Kering
a.
Awetan
kering tumbuhan
Dalam praktikum pembuatan awetan kering tumbuhan,
praktikan menggunakan berbagai macam alat dan bahan, antara lain spesimen
tanaman yang akan diawetkan kering (Capsicum
annum, Solanum melongena, Capsicum frustescens, Physalis angulata, dan Petunia hybrida), alkohol 96%, kapas, koran, solasi, gunting, buku
tebal, air, kertas karton, kertas label, dan plastik mika. Alat dan bahan yang
digunakan memiliki fungsinya masing-masing. Spesimen tanaman digunakan sebagai
objek dalam pembuatan awetan kering tumbuhan. Alkohol untuk mengawetkan tumbuhan supaya tetap utuh dan
tidak rusak. Kapas digunakan untuk mengoleskan alkohol ke spesimen tanaman yang
akan diawetkan. Koran digunakan untuk menyerap air pada spesimen tanaman ketika
proses pengeringan dan buku tebal digunakan untuk memberi tekanan pada spesimen
tanaman supaya lebih cepat kering.
Gunting digunakan sebagai alat pemotongan. Solasi berfungsi untuk
merekatkan spesimen tanaman di atas koran maupun di atas kertas karton. Air
berfungsi untuk mencuci kotoran pada spesimen tanamansupaya bersih dan mudah
diawetkan. Kertas karton digunakan untuk meletakkan spesimen tanaman yang sudah
diawetkan. Kertas label berfungsi untuk memberi keterangan klasifikasi tanaman
tersebut yang disertai identitas, pengumpul (nama pengumpul atau kolektor
dan nomor koleksi), dan dilengkapi keterangan lokasi asal material dan
keterangan tumbuhan tersebut untuk kepentingan penelitian dan identifikasi.
Kemudian, plastik mika digunakan untuk membungkus spesimen tanaman awetan
kering yang sudah diletakkan di atas kertas karton.
Herbarium merupakan suatu spesimen dari bahan tumbuhan yang telah dimatikan
dan diawetkan melalui metoda tertentu dan dilengkapi dengan data-data mengenai
tumbuhan tersebut. Membuat herbarium yaitu pengumpulan tanaman kering untuk
keperluan studi maupun pengertian, tidaklah boleh diabaikan. Yaitu melalui
pengumpulan, pengeringan, pengawetan, dan dilakukan pembuatan herbarium
(Steenis, 2003).
Langkah kerja yang dilakukan praktikan dalam melakukan pembuatan spesimen awetan
kering tumbuhan yaitu menyiapkan
spesimen tanaman yang akan diawetkan. Spesimen tanaman
yang digunakan dalam percobaan adalah tanaman famili Solanaceae (suku
terung-terungan) yaitu cabai rawit, cabai merah, terung, ceplukan, dan petunia.
Langkah selanjutnya, membersihkan
kotoran dan tanah dari tanaman yang akan diawetkan dengan air mengalir kemudian
mengeringkannya. Kemudian, menyediakan alkohol sesuai dengan kebutuhan dan
mengoleskan alkohol dengan tisu pada seluruh bagian spesimen tanaman. Pengolesan
alkohol ke seluruh bagian spesimen tanaman bertujuan supaya tanaman menjadi lebih
awet dan tidak ada bagian yang rusak apabila dikeringkan nantinya. Langkah
berikutnya, mengatur posisi tanaman
di atas koran dan pada beberapa bagian tanaman direkatkan dengan solasi secara
rapi. Hal
ini dilakukan agar tanaman tidak bergeser. Setelah itu, menangkupnya dengan kertas koran lain dan meletakkan
buku tebal di atasnya, proses tersebut bartujuan untuk membuat spesimen tanaman
menjadi kering. Menunggu beberapa hari hingga spesimen tanaman benar-benar
kering. Kemudian, meletakkan spesimen tanaman yang sudah kering di atas kertas
karton, lalu mengatur posisinya dan juga menyelotip beberapa bagian spesimen
tanaman agar tidak bergesar. Praktikan mengatur posisi tanaman agar mudah untuk diidentifikasi dan mudah
diamati. Dilanjutkan dengan memberi label (labeling) lalu dikemas dengan
plastik mika. Pengemasan dengan plastik mika ini bertujuan supaya herbarium
terlihat rapi, tidak kotor, dan terhindar dari air sehingga herbarium bertahan
lebih lama.
Prosedur pembuatan label dalam herbarium ada dua macam pelabelan yaitu
label etiket gantung dan label etiket tempel. Pada label etiket gantung berisi:
no koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daerah tingkat
II tempat pengambilan (untuk bagian depan) dan nama ilmiah spesimen (untuk
bagian belakang). Sedangkan, pada label etiket tempel yang harus dicantumkan
antara lain: kop (kepala surat) sebagai
pengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomer koleksi, (dd)
tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal
menempel, (determinasi) nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula)
pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air
laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen
tersebut (Ekosari dan Purwanti, 2015: 31).
Dalam
percobaan ini, praktikan menggunakan label etiket tempel. Namun dalam label
etikat tempel yang dibuat praktikan kurang lengkap, praktikan hanya
mencantumkan klasifikasi tanaman, habitat, tanggal diawetkan, dan kolektor.
Pemberian label ditempel di sebelah kanan bagian bawah pada kertas karton.
Kemudian spesimen tanaman yang telah ditempel pada kertas karton beserta
identifikasinya ditutup menggunakan plastik mika supaya terlihat rapi dan tidak
kotor. Plastik tersebut dilekatkan dengan selotip sambil ditekan agar selotip
tersebut lengket dan plastik tidak mengkerut. Berdasarkan hal tersebut, dapat
dikatakan bahwa herbarium yang telah disusun sedemikian rupa dapat disimpan
sebagai arsip dan penyimpanan data, dan dapat diambil kembali apabila suatu
waktu herbarium tersebut dibutuhkan untuk bahan ajar, referensi dan kepentingan
lainnya.
Adapun pelabelan dari pengeringan awetan alami tanaman yang dibuat
praktikan adalah sebagai berikut :
1)
Cabai rawit
Kingdom :
Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frustescens L.
Habitat : Dataran rendah dan dataran tinggi
Tanggal diawetkan : 29 November 2016
Kolektor : Reni
Primastuti
2)
Cabai merah
Kingdom :
Plantae
Divisi :
Spermatophyta
Kelas :
Magnoliopsida
Ordo
: Solanaless
Famili :
Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum L.
Habitat :
Dataran rendah dan dataran tinggi
Tanggal diawetkan : 29 November 2016
Kolektor : Sonia
Sukma P
3)
Terung
Kingdom :
Plantae
Divisio :
Spermatophyta
Kelas : Dycotyledonea
Ordo :
Tubiflorae
Family : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum melongena L.
Habitat : Dataran rendah
hingga dataran tinggi sekitar
1200 mdpl
Tanggal diawetkan : 29 November 2016
Kolektor : Yustar
Afif P
4)
Ceplukan
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas :
Magnoliopsida
Ordo :
Solanales
Famili :
Solanaceae
Genus : Physalis
Spesies : Physalis angulata L.
Habitat :
Dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar
1200 mdpl
Tanggal diawetkan : 29 November 2016
Kolektor : Ria Novita
5)
Petunia
Kingdom :
Plantae
Divisi :
Spermatophyta
Kelas :
Magnoliopsida
Ordo :
Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Petunia
Spesies :
Petunia hybrida
Habitat : Dataran rendah hingga
dataran tinggi sekitar
1200 mdpl
Tanggal
diawetkan : 1 Desember 2016
Kolektor :
Yulia Lestari

Hasil pembuatan awetan
kering tanaman famili Solanaceae yang dilakukan oleh praktikan adalah sebagai
berikut:
Gambar 1. Herbarium kering Gambar 2. Herbarium kering
(Capsicum
frustescens L.) (Capsicum
annum L.)
Sumber :
Dokumentasi pribadi Sumber : Dokumentasi pribadi
![]() |
|||
![]() |
|||
Gambar 3. Herbarium kering Gambar 4. Herbarium kering
(Solanum
melongena L.) (Physalis angulata L.)
Sumber : Dokumentasi pribadi Sumber : Dokumentasi pribadi
![]() |
Gambar 5. Herbarium kering
(Petunia
hybrida)
Sumber : Dokumentasi pribadi
b.
Awetan
kering binatang
Pengawetan
kering dilakukan pada hewan yang memiliki kerangka luar keras dan tidak mudah
rusak akibat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven
atau dijemur di bawah terik matahari hingga kadar airnya sangat rendah. Sebelum
dikeringkan hewan dimatikan dengan larutan pembunuh, kemudian hewan diatur
posisinya. Hewan yang sudah kering kemudian dimasukkan dalam kotak yang diberi
kapur barus dan silika gel. Tiap hewan yang diawetkan diberi label yang berisi
nama, lokasi penangkapan, tanggal penangkapan dan kolektornya (Johnson, 1995:
214). Pada percobaan yang dilakukan praktikan sama halnya yang diungkapkan oleh
johnson, praktikan pertama-tama praktikan membius jangkrik dengan kloroform.
Menurut
Christina (1991: 190) Kloroform, Larutan mudah menguap, dapat membius dan
melarutkan plastic. Maka dari itu setelah diteteskan kemudian kloroform harus
segera dimasukkan kedalam plasik. Setelah memasukkan jangkrik kedalamkloroform
kemudian menyuntikan badan bagian belakang(dubur) jangkrik dengan formalin.
Setalah disuntikkan dengan formalin kemudian diolesi seluruh bagian tubuhnya
dengan menggunakan formalin yang diteteskan pada kapas. kemudian rentangkan
pada bagian kaki dan sayap ke arah luar dan tetapkan dengan menggunakan jarum.
Formalin
adalah larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung, mata,
dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit. Makadari itu saat
mengunakan formalin praktikan harus menggunakan kacamata, jika tidak ada kaca
mata praktikan harus membilas mata setiap 30 menit sekali agar tidak iritasi.
Selain itu formalin juga sebagai bahan yang mengawetkan jangkrik agar dapat
awet atau tahan lama. Setelah itu praktikan membiarkan jangkring di udara
terbuka selama 24 jam. Hal ini berfungsi agar jangkrik dapat kering. Setelah
kering jangkrik akan kaku dan mengeras. Kemudian praktikan memasukkan kedalam
insectarium yang sudah dihias agar lebih menarik, selain itu diberikan label
untuk mengetahui klasifikasi hewan tersebut dan kolektornya. Berikut adalah
gambar awetan kering Jangkrik :
![]() |
Gambar 6. Spesimen Awetan Kering Jangkrik
Sumber : Dokumentasi Praktikum
2.
Pembuatan
Spesimen Awetan Basah
a.
Awetan
basah tumbuhan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum
ini yaitu botol jam, tanaman Kiapu, stick kayu, formalin, akuades/air, dan
kertas label. Fungsi dari masing –masing alat dan bahan yaitu:
Botol jam digunakan sebagai wadah untuk
menyimpan tanaman yang diawetkan. Stick kayu digunakan untuk menyangga tumbuhan
agar posisi tubuh tumbuhan tetap berada di dalam formalin dan tidak berpindah
atau pun bergeser dari posisi semula. Air digunakan untuk mencuci kotoran pada
tumbuhan Kiapu agar menjadi bersih dan mudah diawetkan. Formalin digunakan
untuk mengwetkan tumbuhan yang akan diawetkan tidak rusak dan tetap utuh.
Kertas label digunakan untuk memberi keterangan klasifikasi tumbuhan tersebut,
disertai identitas, pengumpul (nama pengumpul atau kolektor dan nomor koleksi).
Serta dilengkapi keterangan lokasi asal material dan keterangan tumbuhan
tersebut untuk kepentingan penelitian dan identifikasi.
Setelah semua alat dan bahan sudah siap,
langkah-langkah yang dilakukan dalam percobaan membuat spesimen awetan tumbuhan
(herbarium) basah ini yakni menyiapkan tumbuhan yang akan diawetkan;
membersihkan kotoran yang ada pada tumbuhan tersebut; menyediakan formalin yang
telah dienceran sesuai dengan keinginan, menyiapkan tempat berupa botol
penyimpanan yang bersih, kemudian mengisi botolnya dengan formalin; memasukkan
tumbuhan yang akan diawetkan dalam botol penyimpanan; mengatur posisinya
sehingga mudah diamati; menutup rapat botol dan kemudian memberi label.
Berdasarkan langkah yang tertulis di atas
langkah pertama adalah menyiapkan tumbuhan yang akan diawetkan yaitu kiapu.
Kemudian membersihkan kotoran yang ada pada tumbuhan tersebut, hal ini
dilakukan agar Kiapu menjadi bersih dan mudah diawetkan.
Selanjutnya menyediakan formalin yang telah
dienceran sesuai dengan keinginan. Formalin berasal dari larutan formaldehida
dalam air dan pelarut lain, umumnya metanol yang berfungsi sebagai
stabilisator, mempunyai cara yang unik dalam sifatnya sebagai disinfektan.
Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi
(kekurangan air), sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru
di permukaan. Formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk
lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap
serangan bakteri lain. Bila disinfektan lainnya, seperti tetracycline,
amikacin, baytril, mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh dan
tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida akan bereaksi
secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari
serangan berikutnya. Karena bakteri tidak dapat menguraikan oranagisme, maka
organisme tersebut menjadi lebih awet.
Praktikan menggunakan formalin dengan kadar
37%. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Menurut Moenandar (1996), pembuatan awetan basah pada biota dengan
ukuran kecil sebaiknya dengan formalin 4-5 %, dan pada biota dengan ukuran
besar menggunakan formalin konsentrasi 10%.
Jadi, seharusnya praktikan mengencerkan
formalin terlebih dahulu sampai kadar konsentrasinya sekitar 4%. Kemudian
menyiapkan tempat berupa botol penyimpanan yang bersih, dilanjutkan mengisi botolnya
dengan formalin. Pada praktikum ini botol yang digunakan yaitu botol toples
kaca/botol jam. Hal ini dimaksudkan agar larutan formalin tidak dapat bereaksi
dengan zat yang lain. Saat memasukkan formalin, formalin diisikan ke dalam
wadah botol kaca sampai batas ¾ botol.
Penuangan formalin harus dilakukan secara
hati-hati karena menurut Moenandar (1996) formalin cukup berbahaya jika
terhirup atau terkena kulit. Bila terhirup akan mengakibatkan iritasi pada
hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan
tenggorokan serta batuk-batuk. Kerusakan jaringan dan luka pada saluran
pernafasan seperti radang paru, pembengkakan paru. Tanda-tanda lainnya meliputi
bersin, radang tekak, radang tenggorokan, sakit dada, yang berlebihan, lelah,
jantung berdebar, sakit kepala, mual dan muntah. Pada konsentrasi yang sangat
tinggi dapat menyebabkan kematian. Apabila terkena kulit maka akan menimbulkan
perubahan warna, yakni kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa
terbakar. Untuk menghindari hal itu maka penuangan formalin harus dilakukan
secara hati-hati.
Setelah formalin tersebut dituang, barulah
spesimen dimasukan kedalam botol kaca yang sudah diisi dengan formalin. Hal ini
dilakukan agar spesimen yang akan diawetkan tidak rusak. Jika kita memasukan
spesimen dulu, maka mungkin akan terjadi kerusakan pada spesimen saat penuangan
formalin.
Selanjutnya mengatur posisi kiapu dalam botol
berisi formalin sehingga mudah diamati. Dalam praktikum ini praktikan
menggunakan stick kayu . Stick kayu digunakan untuk menyangga tumbuhan agar
posisi tubuh tumbuhan tetap berada di dalam formalin dan tidak berpindah atau
pun bergeser dari posisi semula. Kiapu diusahakan tercelup semuanya dalam
formalin, agar semua bagian tubuh kiapu terawetkan secara sempurna.
Langkah terakhir yaitu menutup rapat botol
dan kemudian memberi label. Menurut Ekosari Roektiningroem dan Purwanti Widhy
(2015: 31), pembuatan label dalam herbarium ada dua etiket, yaitu etiket
gantung yang berisi tentang: nomer koleksi, inisial nama kolektor, tanggal
pengambilan spesimen dan daeran tingkat II tempat pengambilan (untuk bagian
depan)pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain: kop (kepala surat)
sebagi pengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No) nomer koleksi,(dd)
tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indigo (nama lokal), (dd) tanggal
menempel, (determinasi) nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula)
pulau tempat mengambil, (m.alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan
air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi
spesimen tersebut.
Praktikan
menggunakan label etiket tempel dalam praktikum ini, namun tidak
mencantumkan kop (kepala surat) sebagi pengenal indentitas kolektor/lembaga
yang menaungi, (No) nomer koleksi,(dd) tanggal ambil, familia, genus, spesies,
Nom. Indigo (nama lokal), nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu. Adapun pelabelan yang telah dilakukan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Family : Araceae
Genus : Pistia
Spesies : Pistia stratiotes
Habitat : Perairan tawar atau
payau (sawah,sungai, kolam, dan danau)
Tanggal diawetkan: 6 Desember 2016
Kelompok: II
Kelas : IPA A 2015
Tanaman
Kiapu ini tumbuh di air yang tenang, seperti danau, kolam, rawa-rawa, hingga
sungai yang alirannya tidak deras.Daunnya berwarna hijauatau hijau kebiruan dan
berubah kekuningan saat tua dengan ujung membulat dan pangkal agak meruncing.
Ukuran daun memiliki panjang sekitar 2-10 cm dan lebar antara 2-6 cm. Tepi daun
berlekuk-lekuk dan memiliki rambut tebal yang lembut permukaannya. Daun
tebal,kenyal, lembut, sepintas membentuk pahatan seperti mahkota bunga mawar.
Pertulangan daun sejajar. Daun-daun tersususn secara roset di dekat akar hingga
membentuk bagian seperti batang tanaman. Kiapu tumbuh mengapung di permukaan
air yang banyak terkena sinar matahari. Berkembang biak secara generatif
melalui biji dan vegetatif melalui stolon. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
air ini sangat cepat hingga menjadikannya sebagai salah satu tanaman hias yang
paling mudah perawatannya (Nasution,1986).
Tanaman Kiapu yang digunakan praktikan
diambil dari kolam yang terdapat di dekat rumah praktikan tepatnya di Nglengis
Sitimulyo, Piyungan, Bantul kemudian pengambilan kiapu dan pengawetannya
dilakukan pada hari Selasa, 6 Desember 2016.
Berikut ini merupakan gambar spesimen yang
sudah diawetkan didalam botol kaca yang berisi formalin:

Gambar
7. Awetan Basah Kiapu
Pistia
stratiotes
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Dalam
proses pengawetan ini setelah beberapa hari, tumbuhan Kiapu tampak bahwa
warnanya sedikit menghilang tetapi morfologinya masih sama segarnya seperti
pada saat baru mengambilnya. Dengan demikian dapat praktikan simpulkan bahwa
formalin dapat digunakan sebagai pengawet spesimen.
b.
Awetan
basah binatang
Berdasarkan praktikum,
dapat diketahui proses pengawetan basah pada kuda laut. Berikut hasil
pengawetan Kuda laut yang telah dilakukan praktikan.
Gambar 8.
Awetan Basah kuda laut
Hippocampus
sp
Sumber : Dokumentasi Praktikum
Proses pengawetan pada tiap hewan memiliki
perlakuan yang berbeda karena perbedaan jaringan pada hewan itu sendiri.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengawetan kuda laut pertama kali yaitu
dengan memastikan botol tempat awetan steril, dan menyiapkan alat dan bahan yan
diperlukan. Selanjutnya praktikan membius
kuda laut dengan larutan klorofom. Hal ini dilakukan dengan cara
memasukkan kuda laut ke dalam plastik transparan yang berisi kapas yang sudah
dibasahi oleh larutan klorofom. Larutan klorofom yang mudah menguap ini
berfungsi sebagai pembius efektif. Langkah selanjutnya yaitu dengan menakar
kadar formalin yang akan digunakan untuk mengawetkan kuda laut yang dilakukan
oleh praktikan. Hal ini sangat penting karena apabila salah dalam menggunakan
dan menghitung kadar formalin yang akan digunakan dapat merusak jaringan hewan
tersebut dan akan membuat awetan rusak. Dalam praktikum ini, disediakan
formalin dengan kadar 37%. Dikarenakan formalin yang digunakan sangat pekat,
maka dari itu praktikan mengencerkan formalin hingga 5% menggunakan gelas
beaker besar (± 800 ml).
Menurut Sundoro (1992), formalin
merupakan larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi selaput lendir hidung,
mata, dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit. Sehingga proses demi
proses harus dilakukan dengan hati- hati. Proses pengenceran ini juga disebut
dengan proses peneguhan/ fiksasi (fixing).
Selain itu, karena praktikum yang dilakukan menggunakan zat- zat/ bahan kimia
berbahaya, kami dianjurkan menggunakan sarung tangan dan masker. Setelah itu,
praktikan menyuntikkan formalin pekat (37%) pada kuda laut. Proses penyuntikan
ini dilakukan dengan hati-hati karena mengingat tubuh dari kuda laut yang
terkesan rentan patah karena kecil. Selanjutnya, praktikan yaitu mengawetkan
kuda laut (preserving) dengan
memasukkan kuda laut yang telah diikatkan menggunakan batu ke dalam toples yang
berisi larutan fiksasi berupa formalin 5%.
Selanjutnya toples ditutup dengan erat agar formalin yang digunakan
sebagai larutan pengawet tidak menguap.
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan, setelah praktikan mengawetkan kuda laut dengan awetan basah
menggunakan larutan, praktikan membuat labeling. Labeling tersebut berisi
klasifikasi kuda laut, tempat pengambilan, tanggal pengambilan dan pengawetan,
dan nama kolektor. Berikut klasifikasi kuda laut yang diawetkan praktikan
menurut Burton dan Maurice (1983) :
Kingdom : Animalia
Sub filum : Vertebrata
Sub kelas : Teleostomi
Ordo : Gasterosteidormes
Famili : Syngnathidae
Genus :Hippocampus
Spesies :Hippocampus sp
Nama Lokal : Kuda laut
3.
Pembuatan
Spesimen Awetan Bioplastik
Kegiatan pembuatan spesimen awetan bioplastik
ini bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan spesimen awetan dengan bahan
bioplastik dan mengetahui perbandingan resin dan katalis yang sesuai untuk
pembuatan spesimen awetan. Kegiatan ini dilakukan pada hari Jumat, 16 Desember
2016 di Laboratorium IPA 2 FMIPA UNY dengan menggunakan bahan spesimen yang
akan diawetkan yaitu rumput belulang atau
Eleusine indica L., minyak goreng, resin bening, dan katalis. Selain
menggunakan bahan tersebut, praktikan juga mengunakan alat- alat berikut yakni
wadah, cetakan, gelas ukur, jarum pentul, dan amplas.
Sebelum melakukan kegiatan pembuatan spesimen
awetan bioplastik, praktikan terlebih dahulu menyiapkan spesimen yang akan
diawetkan dan label etiket tempel yang dicetak pada kertas plastik. Label harus dicetak pada kertas plastik
karena label tersebul akan ditempelkan pada resin. Label etiket tempel yang
berisi identitas kolektor, tanggal diawetkan, klasifikasi spesimen, nama lokal,
dan habitat spesimen tersebut. Berikut merupakan label etiket tempel awetan ini
:
Kolektor
|
Kelompok II (kelas IPA A 2015)
|
Anggota kelompok
|
1.
Yulia
Lestari
2.
Yustar
Afif P
3.
Reni
Primastuti
4.
Sonia
Sukma P
5.
Ria
Novita
|
Nama lokal
|
Rumput belulang
|
Kingdom
|
Plabtae
|
Filum
|
Magnoliophyta
|
Kelas
|
Liliopsida
|
Ordo
|
Poales
|
Famili
|
Poaceae
|
Genus
|
Eleusine
|
Spesies
|
Eleusine indica L.
|
Habitat
|
Tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian
1600 m dpl.
|
Tanggal diawetkan
|
20 Desember 2016
|
Spesimen
rumput belulang yang akan digunakan terlebih dahulu harus diawetkan dengan cara
awetan kering secara alami seperti yang telah dijelaskan pada pengawetan kering
herbarium secara alami. Stelah spesimen dikeringkan, maka spesimen sudah
siap untuk diawetkan dengan teknik bioplastik. Dalam pembuatan spesimen awetan
bioplastik ini terdapat dua prosedur yaitu mixing
dan finishing. Pada proses mixing, praktikan terlebih dahulu
membuat adonan campuran resin bening dan katalis dengan perbandingan 100 : 1. Resin merupakan bahan kimia yang berbentuk
cair menyerupai minyak goreng tetapi lebih kental. Padanan resin adalah
katalis, yaitu cairan yang berwarna bening dan berbau sedikit menyengat dan
berfungsi untuk mempercepat proses pengerasan adonan fiber. Semakin banyak
katalis maka semakin cepat adonan mengeras tetapi hasilnya kurang bagus
(Ekosari dan Purwanti, 2015 : 35).
Praktikan membuat adonan pertama dengan
mencampurkan 50 ml resin dan 0,5 ml katalis. Adonan tersebut dicampur dalam
wadah dan diaduk menggunakan jarum pentul hingga rata. Selain itu praktikan
terlebih dahulu harus mengolesi cetakan dengan minyak goreng. Pengolesan dengan
minyak goreng ini bertujuan supaya mempermudah saat melepaskan hasil akhir
resin dari cetakan. Setelah diolesi dengan minyak, kemudian praktikan menuangkan
adonan tersebut setebal ± 0,5 cm kedalam cetakan yang telah disesuiakan
ukurannya dengan spesies dan label dan tunggu hingga adonan tersebut mengeras.
Penuangan adonan yang pertama ini bertujuan sebagai alas bioplastik dan harus
dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak timbul gelembung pada hasil cetakan,
karena gelembung dapat membuat hasil awetan tidak terlihat jelas. untuk
menghindari hal tersebut, apabila telah terbentuk gelembung sebaiknya gelembung
tersebut ditusuk menggunakan jarum pentul. Selain itu, penuangan juga harus
dilakukan dengan hati-hati karena adonan akan terasa panas apabila terkena
kulit.
Sembari menunggu adonan mengeras, praktikan
membuat adonan kedua dengan mencampurkan 70 ml resin dan 0,7 ml katalis.
Selanjutnya praktikan meletakkan spesimen diatas adonan pertama dengan posisi
yang sesuai lalu menuangkan adonan kedua hingga spesimen tertutup oleh adonan
dan menunggu hingga mengeras. Pada setiap penuangan adonana harus dilakukan
dengan hati-hati, jangan sampai mengenai kulit dan bergelembung. Sembari
menunggu adonan tersebut mengeras, praktikan membuat adonan yang terakhir yaitu
dengan mencampurkan 30 ml resin dan 0,3 katalis. Sebelum menuangkan adonan yang terakhir,
praktikan terlebih dahulu menempelkan label yang telah disediakan sebelumnya.
Peletakan label harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak terdapat
gelembung. Setelah label berhasil ditempelkan, praktikan selanjutnya menuangkan
adonan terakhir secara menyeluruh dan menutupi label. Selanjutya praktikan
menunggu adonan hingga kering dan mengeras, hal ini mengakhiri proses mixing.
Proses yang selnajutnya
adalah finishing. Pada proses ini
praktikan melepaskan resin yang telah berisi spesimen dari cetakan. Setelah
dilepaskan dari cetakan ternyata permukaan bioplastik belum mulus sehingga
perlu dilakukan pengamplasan agar permukaan bioplastik lebih halus. Pada proses
pembuatan spesimen awetan dengan bahan bioplastik, pembuatan adonan resin
dilakukan secara bertahap karena apabila dilakukan secara sekaligus dengan porsi
yang banyak akan membuat resin mengeras saat menunggu penuangan selanjutnya dan
resin tidak dapat digunakan sehingga mubazir.
Berikut merupakan hasil awetan bioplastik
oleh praktikan :
Gambar
9. Spesimen Awetan Bioplastik
Eleusine indica L.
Sumber : Dokumentasi Praktikum
G.
KESIMPULAN
Setelah melakukan
percobaan ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Teknik pembuatan spesimen awetan kering
tumbuhan secara pengeringan alami adalahdilakukan dengan cara menyiapkan spesimen tanaman yang akan diawetkan. Membersihkan
kotoran dan tanah dari tanaman yang akan diawetkan dengan air mengalir kemudian
mengeringkannya. Menyediakan alkohol sesuai dengan kebutuhan. Mengoleskan
alkohol dengan tisu pada seluruh bagian spesimen tanaman. Mengatur posisi
tanaman di atas koran dan pada beberapa bagian tanaman direkatkan dengan
solasi. Menangkup dengan kertas koran lain dan meletakkan buku tebal di
atasnya. Menunggu beberapa hari hingga spesimen tanaman benar-benar kering.
Meletakkan spesimen tanaman yang sudah kering di atas kertas karton, mengatur
posisinya dan menyelotip beberapa bagian spesimen tanaman. Memberi label
kemudian dikemas dengan plastik mika.
2. Teknik pembuatan spesimen
awetan kering binatang adalah dengan mengeringkan jangkrik dengan dibius
jangkrik dengan kloroform. Kloroform, Larutan mudah menguap, dapat membius dan
melarutkan plastic. Maka dari itu setelah diteteskan kemudian kloroform harus
segera dimasukkan kedalam plasik. Setelah memasukkan jangkrik kedalamkloroform
kemudian disuntikan badan bagian belakang(dubur) jangkrik dengan formalin.
Setalah disuntikkan dengan formalin kemudian diolesi seluruh bagian tubuhnya
dengan menggunakan formalin yang diteteskan pada kapas. Kemudian direntangkan
pada bagian kaki dan sayap ke arah luar dan tetapkan dengan menggunakan jarum.
Karena sifat formali yang akan membuat pedih mata maka harus membilas mata
setiap 30 menit sekali agar tidak iritasi. Setelah itu membiarkan jangkring di
udara terbuka selama 24 jam. Setelah kering jangkrik akan kaku dan mengeras.
Kemudian dimasukkan kedalam insectarium yang sudah dihias agar lebih menarik,
selain itu diberikan label untuk mengetahui klasifikasi hewan tersebut dan
kolektornya.
3. Teknik pembuatan spesimen awetan basah
binatang adalah dengan menyiapkan spesimen binatang yang akan diawetkan,
membersihkan kotoran yang terdapat pada tubuh binatang tersebut, menyediakan
formalin yang telah diencerkan menjadi 4 %, menyiapkan wadah berupa botol kaca
yang bersih atau steril yang kemudian diisi dengan formalin 4 % dengan volume
yang sesuai dengan ukuran spesimen binatang sehingga spesimen tersebut dapat
tercelup sempurna didalam larutan formalin. Selanjutnya menutup botol kaca
dengan rapat dan memberi label.
4. Teknik pembuatan spesimen awetan basah
tumbuhan adalah dilakukan dengan cara menyiapkan tumbuhan yang akan
diawetkan, membersihkan kotoran yang ada pada tumbuhan tersebut, menyediakan
formalin yang telah diencerkan menjadi 4 %, menyiapkan tempat berupa botol
penyimpanan yang bersih, kemudian mengisi botolnya dengan formalin; memasukkan
tumbuhan yang akan diawetkan dalam botol penyimpanan; mengatur posisinya
sehingga mudah diamati; menutup rapat botol dan kemudian memberi label.
5. Teknik
pembuatan
label ada dua macam yakni label etiket gantung dan label etiket tempel,
sedangkan dalam percobaan praktikan menggunakan label etiket tempel yang
mencantumkan: kop (kepala surat) sebagipengenal indentitas kolektor/lembaga yang
menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom.
Indigo (nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi)nama orang yang
mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m.alt)
ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat
pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut.
6. Teknik pembuatan spesimen awetan
dengan bahan bioplastik dilakukan dengan dua tahap yaitu mixing dan finishing. Pada
tahap mixing, dilakukan dengan
mencampurkan resin dan katalis dengan perbandingan yang tepat yaitu 100:1 ml.
Setelah itu menuangkan resin kedalam cetakan setebal ± 0,5 cm untuk alas
kedalam cetakan yang telas diolesi minyak goreng dan menunggu hingga mengeras.
Kemudian meletakkan spesimen yang akan diawetkan dengan posisi yang telah
ditentukan sehingga tidak terbalik. Setelah itu ditutup kembali menggunakan
resin hingga tertutup sempurna dengan hati-hati supaya tidak timbul
gelembungdan menunggu hingga mengeras. Lalu menempelkan label dan menutup label
tersebut dengan menggunakan adonan resin. Kemudian tunggu sampai mengeras.
Tahap selanjutnya adalah tahap finishing,
pada tahap ini spesimen dalam resin baru dikeluarkan dari cetakannya.
Apabila permukaan resin hasil cetakan belum mulus, dapat dilakukan pengamplasan
pada permukaan resin agar lebih halus.
7. Perbandingan
yang tepat antara resin dan katalis dalam pembuatan spesimen awetan bioplastik
ini adalah 100 : 1, artinya 100 ml resin ditambah 1 ml katalis. Katalis
berfungsi untuk mempercepat proses pengerasan adonan fiber namun jika kelebihan
hasilnya tidak bagus.
H.
DAFTAR
PUSTAKA
Burton, R
dan Maurice. 1983. Sea Horse .
Amerika : Departement Of Ichtiology.
Christina, Lilies.
1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta: Kanisius.
Ekosari
Roektiningroem dan Purwanti Widhy. 2015. Petunjuk
Praktikum Pengelolaan
& Teknik Laboratorium IPA.
Yogyakarta : FMIPA UNY.
Johnson, Jung. 1995. Binatang Merayap. Jakarta : Gramedia
Moenandar, J. 1996. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Nasution,
U. 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan
Karet Sumatera
Utara
dan Aceh. Jakarta
: PT. Gramedia.
Onrizal. 2005. Teknik Pembuatan
Herbarium. Sumatera Utara : Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara.
Ramadhanil. 2003. Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya dalam
Menunjang PenelitianTaksonomi Tumbuhan di Sulawesi. Solo: UNS.
Rugayah, Retnowati, A., Windadri, F.I., dan A. Hidayat. 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanakaragaman Flora
. Jakarta: Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Setyadi,
B. 2004. Bioplastik. Bandung : UPI.
Setyawan, A. D, dkk. 2004. Penyiapan Spesimen Awetan. Solo : Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Sebelas Maret.
Steenis,
Van ,C.G.G.J. 2003. Flora. Jakarta : PT.Pradnya Paramita.
Sundoro, S.H. 1992. Metode Pewarnaan (Histologis dan Histokimia). Jakarta : Bhataro
Karya Aksara.
Suyitno, A. L. 2004. Penyiapan Spesimen Awetan. Yogyakarta : Jurusan Biologi FMIPA UNY.




















Comments
Post a Comment